Thursday, April 6, 2017

bac

Beri Aku Cahaya Judul Cerpen Beri Aku Cahaya Cerpen Karangan: Chadijatus Salmah Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Remaja Lolos moderasi pada: 3 April 2017 Arina semakin memeluk erat lututnya, sesekali menutup telinganya saat orangtuanya semakin meninggikan suara mereka. Tiap hari harus mendengarkan pertengkaran kedua orangtuanya membuat Arina stres berat, padahal dia baru berusia 15 tahun. Satu hal yang paling menyakitkan hati Arina adalah ketika harus berpura-pura menjadi gadis ceria di depan teman-teman sekelasnya. Mengingat dia adalah anak terpintar di kelasnya dia tak ingin memberikan kesan buruk pada sekolahnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini Arina sarapan seorang diri, dengan sarapan seadanya, tanpa orangtuanya. Arina bisa menduga, ayahnya sudah pergi ke kantor pagi-pagi buta sebelum ayam jago mulai berkokok, sedangkan ibunya telah pergi dengan selingkuhannya entah kemana. “Pak Anas, apa saya boleh tidak pergi sekolah hari ini?” Tanya Arina pelan pada sang supir keluarga. Pria paruh baya itu hanya tersenyum mendengar perkataan Arina. “Non, apa non Arin ingin mengecewakan tuan yang sudah susah payah membayar biaya sekolah non Arin?” jawab Pak Anas lembut. Arina hanya menghela nafas pelan tanda kecewa. Dengan langkah terseret dia masuk ke dalam mobil yang siap membawanya ke sekolah. Di sekolah dia kembali harus bersikap pura-pura ceria agar tidak ada yang tahu keadaannya yang sebenarnya. “Eh katanya hari ini ada murid baru?” “Katanya cewek ya? Pasti cantik,” Begitulah yang Arina dengar begitu sampai di kelasnya. Sebenarnya Arina tidak begitu peduli dengan gosip pagi siswi-siswi di kelasnya. Toh, tidak akan mengubah hidupnya, pikirnya. “Eh Arina, apa kau sudah tahu? Ada murid baru, loh,” kata Intan yang duduk di depannya. “Oh ya?” Jawab Arina sekenanya. “Iya, kemungkinan sih dia akan duduk bersamamu,” kata Intan antusias, bertepatan dengan lonceng tanda pelajaran dimulai berbunyi. Semua anak kelas itu mulai sibuk menyiapkan segala peralatan belajar, dan jelas saja, tak lama kemudian sang wali kelas datang bersama seorang gadis berpenampilan urak-urakan. “Apa-apaan dia? Aku pikir dia cantik,” “Aku tebak, dia pasti anak broken home, makanya penampilannya seperti anak nakal begitu,” Arina mengalihkan pandangannya mendengar bisik-bisik teman-temannya yang berkomentar tentang anak baru itu. “Baiklah, kau duduk di dekat Arina,” kata wali kelas sambil menunjuk bangku kosong di samping Arina. Anak baru itu berjalan tanpa menghiraukan komentar-komentar miring tentangnya. “Hai, aku Arina,” sapa Arina begitu anak baru itu duduk di sampingnya. “Gaby,” jawab anak itu. Arina hanya manggut-manggut mendengar respon cuek anak itu. Arina kembali fokus untuk mengikuti pelajaran. Saat istirahat Arina hanya duduk sendiri di kelas. Satu-satunya alasan dia tak ingin ke luar kelas adalah karena dia sudah membawa bekal dari rumah. “Kau tak keluar?” Tegur Gaby. Arina kaget mendengarnya sampai nyaris tersedak. “Makan itu pelan-pelan. Kau tak keluar?” Ulang Gaby. Arina hanya diam. “Hei, kau tadi pagi ceria, sekarang seperti orang bisu,” tegur Gaby lagi. “A… Aku.. Aku hanya kaget. Mengapa kau kembali ke kelas?” Tanya Arina. “Ah, anak-anak itu. Aku malas mendengar mereka membicarakanku terus,” jawab Gaby santai. Arina kembali terdiam. “Kau sepertinya anak baik-baik ya, anak orang kaya yang selalu mendapat perhatian dari kedua orangtua-” “KAU TIDAK TAHU APA-APA TENTANG AKU!!” bentak Arina. Gaby tersentak kaget mendengarnya. Arina juga terkejut, secara tak langsung dia sudah membuka rahasia keluarganya. “Kau… Tak bahagia? Orangtuamu bercerai? Mereka bertengkar tiap hari?” Tanya Gaby. Air mata Arina kembali menetes mengingat pertengkaran orang tuanya. “Sepertinya aku benar ya… Ah, aku ada cara untuk bebas dari semua masalahmu,” tawar Gaby. Arina mengusap air matanya kemudian menatap Gaby. “Kau… Serius?” “Iya, aku serius. Malam ini jam 7 datanglah ke rumahku,” kata Gaby sambil menyerahkan alamat rumahnya. Arina menatap kertas itu, dia seperti menemukan harapan baru untuk hidupnya. Tepat jam 7 malam Arina sampai di sebuah rumah sederhana. Mungkin bukan rumah, tampak seperti kos-kosan murah yang biasa disewa pelajar. Arina berjalan perlahan menuju rumah itu. “Permisi..” “Eh, kau sudah datang. Masuklah,” jawab Gaby setelah membuka pintu. Arina masuk dan memilih duduk di pojok ruangan. “Kenapa? Apa kau risih karena aku tinggal di kos kumuh seperti ini?” Kata Gaby. Arina cepat-cepat menggeleng kepalanya. “Kau tunggu saja di situ sampai mereka datang,” kata Gaby sambil memainkan handphonenya. Arina sebenarnya bingung, siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’, tapi dia hanya diam saja sambil menunggu hal yang sudah dijanjikan Gaby untuk menghilangkan masalahnya. Sekitar pukul 9 malam pintu rumah Gaby kembali diketuk dari luar. Gaby buru-buru membuka pintu. Arina kaget, yang datang ternyata sekumpulan anak-anak ‘nakal’ dengan penampilan yang sangat mengganggunya. Setelah Gaby berbincang-bincang dengan temannya sambil sesekali melirik Arina, mereka pun berkumpul di tengah kamar. Salah satu anak ‘nakal’ itu mengeluarkan semacam serbuk putih dan tabung kecil dari dalam tasnya. Ada juga yang mengeluarkan beberapa botol minuman dari dalam tasnya. Arina mulai curiga. Dia mulai mengingat berita yang tadi dia lihat di televisi tentang pesta miras dan nark*ba. “Arin, ini hisaplah,” tawar Gaby. Arina tampak ketakutan. “Ayolah, kau stres kan?” kata Gaby membujuk Arina. Arina kembali teringat pertengkaran orangtuanya beberapa hari ini. Refleks dia mengambil serbuk putih itu dari tangan Gaby dan menghisapnya sesuai petunjuk Gaby. Satu hisapan dan kepala Arina mulai pusing. Samar-samar dia melihat orang-orang di ruangan itu tertawa-tawa melihatnya. “Sepertinya dia akan ketagihan,” “Kau betul. Kalau dia ketagihan dia pasti akan membeli s*bu-s*bu ini, dan kita bisa menjual dengan harga mahal dengan anak orang kaya ini,” Samar-samar Arina mendengar pembicaraan mereka. Dia kaget begitu mengetahui bahwa yang dia hisap adalah s*bu-s*bu. Buru-buru Arina menyimpan handphonenya dan berlari keluar kamar. Karena kepalanya yang pusing, samar-samar dia lihat beberapa orang, termasuk Gaby, berlari mengejarnya. Arina sangat ketakutan. Untung tak jauh dari sana masih ada ojek yang menunggu penumpang. Arina buru-buru menaiki ojek itu. Setelah menyebutkan alamat rumahnya tukang ojek itu melaju meninggalkan orang-orang yang mengejar Arina. Sampai di rumah Arina baru ingat, alasan apa yang akan dia berikan pada ayahnya jika ayahnya tahu dia pulang selarut ini. Tapi karena kepalanya terasa sangat berat dia memutuskan untuk tetap masuk ke rumah dan menghadapi amarah ayahnya. “Non Arin? Non dari mana?” Tegur pak Anas. Arina hanya diam mendengar teguran pak Anas. “Di dalam tuan dan nyonya khawatir menunggu non Arin,” kata pak Anas lagi. Arina terkejut. Ayah dan ibunya kini menggunya di rumah. Dia makin ketakutan. Dia takut orangtuanya akan bertengkar lagi karena dia. “Sinta, kau mau kemana? Anak kita belum pulang-” “Kau pikir aku mau kemana? Aku ingin melapor ke kantor polisi!” Arina melihat lagi pertengkaran orangtuanya di depan matanya. Jantungnya berdegup kencang menahan marah dan sedih. Air matanya tanpa sadar sudah mengalir dari kedua matanya. “A.. Ayah… Ibu…” kata Arina pelan. Kedua orangtua Arina refleks melihat ke arah Arina yang baru pulang. “Anakku,” kata sang Ibu sambil berlari memeluk Arina. Ayahnya pun ikut berlari ke arah Arina dan memeluknya. “Kamu darimana saja nak? Ayah khawatir,” “Iya nak, ibu juga khawatir,” “Kalian betul-betul khawatir atau hanya berpura-pura?” Kata Arina. Orangtuanya kaget mendengar Arina berbicara seperti itu. “Apa kalian tahu betapa tertekannya aku saat mendengar kalian bertengkar? Apa kalian sadar aku sangat ketakutan saat mengetahui kalian akan bercerai?” Teriak Arina. “Nak, maafkan kami. Kamu tahu kan, masalah orang dewasa itu lebih rumit,” kata Ibunya. “Jadi, kalian tidak ingin mencari jalan untuk masalah kalian? Kalian lebih rela kalau aku terjerumus ke arah yang salah karena kalian?” Bentak Arina lagi. Kedua orangtua Arina sangat kaget mendengar curahan hati anak tunggal mereka. Orangtua Arina saling menatap. “Nak, maafkan kami. Kami lupa jika kami masih memiliki kamu. Baiklah, malam ini kami akan mencari jalan untuk menyelesaikan masalah kami,” kata ayahnya. “Dan kami mohon, jangan pernah terjerumus ke hal-hal yang salah. Kami tidak mau kamu kenapa-kenapa nak,” kata ibunya menambahkan kata-kata suaminya. Arina lega, dia tersenyum bangga. Akhirnya permasalahan orangtuanya sudah berakhir dan dia tidak takut lagi orangtuanya akan berpisah. Dengan berderai air mata, Arina masuk ke dalam rumah, diikuti kedua orangtuanya yang membimbingnya dari belakang. Kini dia sadar, permasalahan tidak akan selesai jika hanya berdiam diri saja, apalagi harus mencari cara instan dengan memakai nark*ba sebagai pelarian. Berbicara dan mencari jalan keluar adalah cara untuk menyelesaikan masalah serumit apapun.

No comments:

Post a Comment