Wednesday, April 5, 2017
bandung
Papa, Aku Ingin Seperti Dahulu
Judul Cerpen Papa, Aku Ingin Seperti Dahulu
Cerpen Karangan: Risalati Nurlaili
Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 5 April 2017
Jam telah menunjukkan jarumnya tepat di angka 03.00 pagi, seperti biasa aku tidak pernah bisa untuk tidur lebih cepat. Entah mengapa mata ini malas sekali untuk terpejam. Sudah kubiasakan merebahkan tubuh lebih awal, tapi hasilnya selalu seperti ini. Mata ini masih terlalu aktif untuk aktivitas tengah malam ini yang biasa aku habiskan dengan bermain game dari ponselku. Ponsel lama yang merupakan kado ulang tahunku. Satu tahun terakhir ini, aku tak lagi mengalami pergantian pada ponsel. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu, aku selalu mengalami pergantian ponsel saat ulang tahun, tapi untuk tahun terakhir ini ponselku masih sama, Samsung Galaxy J1. Ah aku terlalu berkhayal, bukankah ponsel itu sama saja? Ya intinya yang penting bisa digunakan untuk menelpon dan sms.
Masih seperti kalimat pertama, mataku belum bisa untuk terpejam. Yang ada malah tambah aktif lagi dan sama sekali aku tak merasakan kantuk. Dengan ditemani oleh setoples roti dan segelas air putih, yah ini sudah menjadi kebiasaan dikala malam hari. Entah mengapa kebiasaan ngemilku tak kunjung hilang, padahal sudah ada sekian banyak orang yang berkomentar dengan keadaan tubuhku yang sudah 360 derajat berubah drastis menjadi lebar. Tapi mau gimana lagi, sudah menjadi kebiasaan yang mungkin butuh waktu lama untuk perlahan-lahan menghilangkannya.
Singkat cerita, perlahan-lahan tanganku membuka notebook, kubuka Microsoft Word dan mulailah jari-jemariku menari-nari di atas keyboard. Sekilas ingatanku kembali ke peristiwa 8 tahun silam. Sebuah peristiwa yang sangat indah, bersejarah, penuh kebahagiaan dan kerap kali aku menyebutnya sebagai cerita unik. Unik karena bagiku peristiwa itu tak akan terulang kembali.
Papa, aku ingin seperti dahulu? Yah, hanya kata-kata itu yang bisa aku ucapkan saat aku merasa sendiri dan kesepian. Ingatanku tentang 8 tahun silam tak akan pernah sirna, dan entah mengapa belakangan ini ingatanku tak lepas pada peristiwa itu. Peristiwa dimana aku benar-benar sedang berada di atas puncak kejayaan. Penuh dengan kebahagiaan, canda-tawa serta senda-gurau dari keluarga kecilku. Bahagianya aku kala itu, aku mempunyai Papa dan Mama yang sangat aku cintai dan bahkan sebaliknya. Mungkin aku salah satu anak di dunia ini yang sangat beruntung mempunyai orangtua seperti mereka, mereka sangat menyayangi aku dan sangat memperhatikanku sepenuh hati. Aku selalu dimanja sehingga aku lupa diri bahkan aku tak tau bagaimana caranya untuk hidup sederhana dan mandiri, hampir seluruh keinginanku terpenuhi dikala itu. Mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala dan bahkan semua barang yang aku kenakan selalu berlogo mall. Belum lagi aku yang selalu minta hadiah yang aneh-aneh jika aku mendapat nilai yang bagus. Mungkin karena aku anak satu-satunya dan waktu itu aku tergolong anak yang pintar di sekolahku, dan aku selalu mendapat rangking 1 jika pembagian rapot. Dari situlah Papa dan Mama terus memotivasiku agar aku tetap mempertahankan prestasiku, dan mereka selalu memberiku hadiah. Berawal dari situlah kebiasaanku meminta-minta hadiah muncul. Dan Papa Mama pun tak segan-segannya untuk selalu menuruti semua keinginanku yang sedikit konyol itu.
Waktu itu tepatnya tanggal 25 Juni 2009, saat aku menghadapi kenaikan kelas 6. Tanggal ini bahkan tak akan pernah bisa aku lupakan, dimana tanggal ini adalah tanggal mati untukku dimana awal dari kehancuran dimulai dalam keluarga kecilku. Papa meminta izin kepada kami untuk pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Papa minta izin selama 3 hari. Selepas itu 3 hari berlalu, 1 minggu berlalu dan akhirnya timbul tanya di benakku, “Ma kenapa Papa belum pulang?” Sabar sayang, Papa lagi banyak urusan di kerjaannya. Selalu dan selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut Mama. Oke aku pun mengerti dan memahami. Aku yang sudah rindu dengan Papa selalu menanti-nantinya, hingga akhirnya 1 bulan berlalu dan 1 tahun pun berlalu.
Tak berapa lama dari 1 tahun itu, aku mendengar perbincangan antara Mama dengan pihak keluarga jika Mama dan Papa akan segera menyelesaikan persoalan ini ke pengadilan, tak berapa lama keluarlah surat perceraian antara Mama dan Papa. Hatiku hancur, tubuhku lemah tak berdaya. Aku bagaikan karang di laut yang tertabrak oleh ombak. Oh Tuhan… bencana apa yang engkau berikan kepada keluarga kami. Aku yang tengah memasuki kelas 1 SMP seakan-akan merasa telah mati, tak ada semangat lagi dalam diriku. Mama selalu memberiku semangat, “Sabar sayang, mungkin ini sudah garis dari Yang Maha Kuasa” ucap Mama sambil terisak. Perlahan-lahan, aku mulai belajar untuk menerima kenyataan pahit ini. Aku tak kuasa melihat Mama yang dulunya cantik, Mama yang selalu terawat kini semakin memudar. Mama yang dulu terlihat kuat, kini keadaannya semakin memburuk. Ia harus bekerja membanting tulang untuk menafkahiku. Aku sangat menyayangi Mama.
Suatu malam, datang seorang lelaki untuk melamar Mama. Aku gembira, aku senang. Tapi entah mengapa di dalam lubuk hati yang paling dalam aku sulit menerima. Aku tak bisa menggantikan sosok Papa yang dulu dengan Papa yang baru. Tapi apalah daya, aku tak ingin melihat Mama seperti itu terus. Aku juga ingin ada sosok lelaki yang bisa menopang keluarga kecil ini seperti dahulu lagi.
Akhirnya, Mama menikah dengan lelaki itu. Tak seperti yang aku bayangkan, Papaku yang baru tak kalah sayang seperti Papa yang dahulu. Papa yang sekarang sangat menyayangiku. Aku bahagia.
Malam ini air mataku mengalir cukup deras, mengingat cerita masa lalu keluarga kecilku. Hatiku menangis, aku ingin mengulang kisahku seperti dahulu. Tapi itu hanya mimpi. Papa? Aku rindu, aku rindu akan bayang wajahmu, aku rindu akan belai kasih sayangmu, aku rindu sentuhanmu. Tuhan… hanya itu yang bisa aku ucapkan. Papa? Dimanakah dirimu yang sekarang? Bagaimana kabarmu? Bagaimana keadaanmu? Berjalan 8 tahun kita berpisah, tanpa tatap muka tanpa suara dan tanpa komunikasi. Kau hilang begitu saja bagaikan ditelan bumi. Papa, semoga kau baik-baik saja…
I LOVE YOU PAPA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment