Thursday, April 6, 2017
katjang mahal
Kemana Akan Kubawa Orangtuaku Nanti
Judul Cerpen Kemana Akan Kubawa Orangtuaku Nanti
Cerpen Karangan: Hilda Hindasah
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Keluarga, Cerpen Mengharukan
Lolos moderasi pada: 1 April 2017
Malam itu aku masih bersamanya, di ruangan yang tidak asing bagiku. Setahun sekali, bukan, 6 bulan sekali dia terbaring di sini. Menahan sakit dengan senyumnya. Senyuman yang saat dia terdiam pun sudah terukir, begitu natural, cantik sekali. Aku di sampingnya, tapi sibuk dengan barang yang seakan-akan nyata bagiku padahal itu hanya sebuah kotak dengan perintilan kabel di dalamnya. Lalu ia memegang tanganku, mengisyaratkan untuk menaruh barang itu. Aku menatapnya sembari tersenyum.
“Ya, Mah? Ada apa?”
“Sewaktu mamah masih muda, seumuran kamu ini, darah muda mengalir dengan derasnya. Ingin ini, ingin itu, coba ini, coba itu, ikut ini, ikut itu, sampai mamah bosan. Waktu mamah seumuran kamu, mamah juga ikut mode, rambut begini, dipotong begitu, baju model ini punya, yang terbaru langsung beli. Make up lengkap, dari yang cuma buat keluar rumah sampai ke kondangan. Sepatu? Tas? Serasi dengan baju mamah. Masa-masa indah zaman muda dulu, tidak tahu nenek kamu masih menyimpannya atau tidak.” Lalu ia duduk perlahan dan aku membantunya.
“Di sekolah dulu, mamah selalu ingin paling modis, paling cantik, paling serasi dipandang orang. Bolehlah mamah sombong sedikit, dulu mamah dikagumi banyak lelaki, dipuji wanita-wanita, yang iri juga nggak kalah banyak. Senang rasanya menjadi tenar apalagi teman-teman mamah juga sama halnya dengan mamah.” Lalu ia menghela nafas. Aku senyum-senyum sendiri ketika membayangkan mamah ketika muda, pasti sangat cantik, seperti aku.
“Terus mamah lulus, kerja di perusahaan luar negeri. Masih sama seperti mamah yang dulu, bedanya saat itu mamah lebih dewasa dalam berpenampilan. Waktu kerja juga nggak kalah tenar seperti saat sekolah. Bahkan prioritas laki-laki yang mendekati mamah adalah menikah. Lucu kadang kalau mengingatnya.” Ia tertawa kecil yang membuatnya semakin cantik.
“Lalu mamah ketemu ayah kamu, dikenalkan teman yang kerja sebagai PNS. Kamu tahulah apa yang selanjutnya terjadi, pacaran, menikah dan punya kamu, dan mamah pindah kerja menjadi PNS. Ayah kamu itu adalah orang yang tidak pernah mamah pikirkan jadi suami mamah. Lelaki sholeh, berjenggot dan pintar mengaji. Suka ke masjid dan punya mimpi-mimpi. Ya, walaupun ujungnya kami pacaran juga tapi itu hanya 6 bulan dan mantap menikah. Mamah yakin dengan kepribadiannya akan membawa mamah lebih baik.” Aku mengambilkannya minum dan ia beristirahat sejenak.
“Alhamdulillah, sekarang mamah seperti ini. Berusaha memperbaiki diri untuk di dunia dan di akhirat, untuk diri sendiri dan orangtua mamah. Untuk ayah kamu dan juga untuk kamu dan adikmu. Ketika nenekmu meninggal, mamah sangat terpukul karena belum memberinya apa-apa. Harta dengan kasih sayangnya itu tidak terbandingkan. Dan ayahmu menenangkan mamah dengan berkata bahwa mamah masih bisa membawanya ke surga, ke tempat terindah di sisi-Nya dengan cara mamah menjadi yang terbaik di mata-Nya. Mamah bisa memberikan nenekmu bekal di akhirat selama ia masih hidup dengan mamah berubah menjadi lebih dan lebih baik, hingga nenekmu meninggal satu tahun yang lalu. Kamu tahu hal pertama yang diminta ayahmu sebelum menikah dengan mamah?” tanya Mamah.
“Apa, Mah?” tanyaku penasaran.
“Ia meminta mamah untuk berhijab. Lalu setelah menikah? Ia meminta mamah untuk lebih rajin sholat dan beristighfar. Dan hingga sekarang ayahmu terus meminta mamah untuk sabar dan kuat melawan penyakit mamah.” Lalu sekian kalinya ia menghela nafas dan mulai berbaring kembali. Aku yang berlinangan air mata berusaha menahannya agak tidak terlihat.
Mamah adalah wanita terbaik bagiku. Kini dengan jilbab panjangnya ia semakin cantik dan anggun. Meskipun ia bercerita dulu ia begini dan begitu, aku yakin ayahku telah mengubahnya dengan baik. Lalu aku melihat diri sendiri yang berbeda jauh dengannya.
Aku, dengan baju yang cukup mahal tapi kurang bahan. Aku, dengan make up terkenal dan tidak natural. Aku, yang setiap hari mengabadikan foto dan menyebarnya ke seluruh dunia. Aku, dan lelaki yang membuatku jarang di rumah. Aku, dan ibu yang masih setia mengingatkanku. Terkadang aku ingin berubah. Apalagi melihat mamah dan pakaiannya yang membuatku malu. Karena terlalu malu, aku merasa tidak pantas untuk berubah. Berpikir bahwa Sang Pencipta tidak akan menerimaku lagi. Tapi semua itu salah. Mamah salah satu bukti nyatanya.
“Nak, mau dibawa ke mana mamahmu ini? Mau dibawa ke mana ayahmu nanti? Kami tidak tahu kapan kami akan pergi. Mamah tahu, kamu ingin memiliki masa muda yang berkesan, dengan gaya bajumu, dengan rambutmu, dengan aksesorismu, sepatu dan tas, make up mu, dan segala kehidupan sosial di sekitarmu. Mamah tahu, sekarang kamu sangat terkenal. Di dunia nyata ataupun maya, banyak yang memujimu. Sekilas mamah senang tapi mamah juga sedih ketika mereka mengejekmu. Mamah tahu sekarang kamu punya tambatan hati, dan mamah tahu kalian sering jalan kesana kemari dan mengabadikannya. Entah apa yang kalian lakukan saat itu.” Mamah menatapku penuh penyesalan.
“Awalnya mamah membiarkanmu karena kamu sangat bahagia dengan semua itu, tapi setelah mamah mulai sakit, mamah sadar mamah tidak merawatmu dengan baik, tidak menjaga titipan-Nya dengan baik, bahkan tidak mengiringmu untuk membantu mamah di kemudian hari. Mamah ini banyak dosa, mamah sadari itu. Amal mamah tidak akan cukup jika mamah harus pergi hari ini.” Suaranya mulai parau.
“Maka dari itu, mamah meminta padamu seperti ayahmu meminta pada mamah untuk pertama kalinya. Pakailah hijabmu, lindungi ayahmu dari api neraka, lindungi suamimu kelak, dan lindungi dirimu sendiri dari sekarang. Permintaan mamah selanjutnya sama seperti apa yang ayahmu minta pada mamah. Turuti kata-katanya ya, Nak. Maafkan mamah karena tidak memberitahumu sejak dulu. Mamah sayang kamu.” Air matanya menetes perlahan.
Aku langsung memeluk mamah dengan erat, air mataku tak berhenti membasahi jilbab favoritnya. Ayah dan adikku masuk dan mendapati kami berpelukan. Lalu memeluk kami untuk beberapa saat. Ketika aku melepaskan pelukanku, ayahku sudah menangis. Aku melihat malaikatku sudah tak bernafas, namun ia tersenyum. Dan hari ini, giliran aku yang merasakan bahwa aku belum memberikan apapun untukmu. Tapi kau memberikanku cahaya di penghujung waktumu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment