Thursday, April 6, 2017
KYTU
Kudoakan Yang Terbaik Untukmu
Judul Cerpen Kudoakan Yang Terbaik Untukmu
Cerpen Karangan: Qyu Anjani
Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam), Cerpen Cinta Segitiga, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 7 April 2017
Aku memandang mentari senja di sebuah pelataran. Gedung kampus ini memang mengizinkan mahasiswanya untuk bersantai-santai di atap. Sehingga tempat ini menjadi salah satu tempat favorit bagi para muda-mudi yang tengah asik menghabiskan waktunya di kampus. Tak perlu membayangkan atap yang panas dengan terik mataharinya, di atap ini cukup nyaman dengan beberapa gazebo yang menghadap langsung ke arah gedung-gedung pencakar langit lainnya. Di ujung timur, ada musholla yang dikala ashar berkumandang, menghadap langsung ke arah matahari jingga yang teduh menyinari sujud para wajah yang menghadap ke bumi.
Sebuah suasana yang syahdu lantaran angin yang berhembus sepoi-sepoi. Meniupkan setiap surai dan benang para penikmat senja yang tengah asyik menyeruput minuman dan makanan ringan yang dibeli di kedai makanan di bawah. Aku menyingkap surai yang menusuk-nusuk mata. Kupegang topiku erat-erat takut ikut tertiup sang bayu yang menyapa di balik muka bumi. Sebuah semburat jingga keemasan menyeruak seolah membuat wajahku menjadi hangat. Mataku tak ubahnya memandang sang matahari yang berjalan pulang menuju belahan bumi yang lain. Aku terduduk di salah satu gazebo yang menghadap langsung ke arah surya. Salah satu tempat favorit kami.
Ya… kami bertiga.
“Bro…” ini salah satunya, “Bengong aja. Kesambet mampus lu!” Katanya dengan wajah dewasa yang khas. Yang membuat semua orang terbuai akan ketampanannya serta sikapnya yang mudah bergaul. Namanya Kevin. Pria agak tambun yang selalu menemaniku.
“Kesambet apaan? Pocong?” Candaku sambil terkikik.
“Yee… sok jago ente. Situ emang berani ama setan lemper macem tuh jurig? Palingan ditongolin juga ngacir ente.” Katanya cerah dengan matanya yang berbinar dan jambangnya yang bergerak kala pipi itu merekah tertawa. Aku tak ubahnya ikut menertawai apa yang dikatakan. Begitulah kami. Kami layaknya seperti sepasang tangan yang saling membutuhkan.
Aku mulai berkawan dengannya saat semester satu dan semenjak hari itu kami semakin akrab. Alasan klise yang membuat kami sangat dekat adalah kami sama-sama menyukai drama Korea. Untuk ukuran seorang pria, sangat tabu jika menyukai hal-hal yang demikian. Tapi mau bagaimana lagi, begitulah tali takdir menyatukan. Meski kami sering berselisih, namun hal itulah yang membuat kami jauh lebih dewasa.
“Punya drama terbaru gak bro?” Tanya Kevin memulai pembicaraan sakral kami.
“Drama “W-Two Worlds”, mau?” Kataku.
“Siapa yang maen?”
“Lee Jong-Suk.”
“Lagi?” Kevin memprotes. “Kayaknya tuh orang emang bikin ngelonjak drama-drama popular, deh.”
“Ya mau gimana lagi. Drama yang sering diperanin ama dia emang bagus-bagus.”
“Udah nonton Descendants Of The Sun belom?” Suara seorang gadis tiba-tiba menyela dan mencuri perhatian kami. Kami menoleh ketika ia berjalan mendekati. Inilah orang ketiga itu. Orang yang tanpa sepengetahuan alam raya, telah menyela mengambil hatiku. Tara namanya. Dengan kulit gelap yang manis serta rambut pendek seleher berwarna eboni. Hidungnya bangir dan diapit dua mata lentik khas keturunan Gujarat. Ia tersenyum manis, seakan memiliki daya magis untuk menghentikan seperkian detik waktuku.
Siapa kamu? Yang telah mengambil alih angan dalam sepiku dan menjadi bayangan dalam hariku.
Siapa kamu? Yang selalu dekat denganku seakan kamu juga menghilangkan jarakku.
Apakah aku jatuh cinta pada gadis ini? Entahlah. Tapi sekalipun aku berkilah, rasa itu kian mengusik menuntut hadir.
Menyuarakan bahwa ia ada. Rasa ingin memiliki seutuhnya.
“Drama itu mah udah hatam!” Kata Kevin membuatku kembali ke alam dunia. Ia merangkul bahuku layaknya teman yang sangat dekat. Aku tak memperhatikan Tara yang duduk di sebelahku. Ia tersenyum sambil memberikan slurpee yang aku pesan dan hot chocolate yang Kevin pesan.
“Tapi kan Song Jong-Ki itu ganteng banget.” Kata Ara dengan wajah ala-ala fangirlnya. “Dramanya juga romantis.”
“Iyasih. Apalagi pas adegan di pulau kapal karam itu. Pas dia ngambil batu dan berjanji bakal bisa balik lagi ke tempat itu.” Kataku menimpali.
“Nggak sih. Yang romantis pas mereka kissing di atas truk jerami. Pemandangannya juga mendukung banget.” Kevin ikutan.
“Dih… kamu mah… ingetnya adegan kissingnya doang!” Ara cemberut manja. Membuat Kevin tertawa dan aku yang memperhatikannya sambil tersenyum.
Kami bertiga terus bercengkrama hingga sore terus bergulir. Hingga minuman yang dibawa telah habis kami masih tertawa diujung peraduan. Saat itulah, hal yang sebenarnya tidak ingin kuketahui malah terjadi begitu saja.
Saat itu Kevin pamit undur diri karena dia ada keperluan dengan salah satu dosen pembimbing. Sehingga tersisa hanya kami berdua di gazebo atap kampus. Ara agak mendekat dan sepertinya hendak membicarakan sesuatu. “Gyu…” Panggilnya dengan menggunakan panggilan spesialnya untukku.
Aku mengernyit sambil menatap wajahnya.
Surai lembut itu sedikit menggelitik pipinya yang tirus. Aku tak habis pikir, kenapa wajah ini selalu mengisi setiap imajinasi dan fantasiku. Mengganggu disetiap mimpi dan khayalanku.
“Hmmm…” jawabku sok jaim.
“Gyugyu… oi!” Panggilnya lagi sambil mengguncang-guncang bahuku. “Pengen ngomong serius nih!” Katanya merajuk. Aku tersenyum dan mengusap lembut ujung kepalanya.
“Apa, Ra?” “Ini serius! Tapi jangan cerita sama siapa-siapa, ya?” Katanya dengan manik mata yang membulat lucu.
“Iya.”
“Janji?”
“Iya.”
“Jadi begini…” Tara mulai membenarkan duduknya. “Aku, kamu sama Kevin kan udah berteman lebih dari lima semester, nih. Kayaknya kamu orang yang cocok buat aku ceritain pertama kali.”
“Soal apa Ra?” Aku mulai was-was karena aku merasa ini akan menjadi sesuatu yang serius.
“Perasaanku.” Aku mengernyit. Jantungku berdegup. Seketika seperti rasa mual yang tiba-tiba menyerangku. Aku antara siap dan tidak mendengarkannya.
“Kenapa? Kamu suka sama seseorang?” Suara itu tanpa sadar keluar dari ujung kerongkonganku. Terdengar seperti cekikan yang dikeluarkan oleh jantungku. Tara hanya tersenyum malu-malu. Namun hal itu sudah membuatku paham akan dibawa kemana arah pembicaraan ini.
“Siapa?” tanyaku lagi setenang mungkin. Mempersiapkan telinga untuk mendengarkan. Bola mataku mengawang dan mulai tak fokus.
“Kevin.”
Aku terdiam beberapa saat. Menata hati secepat mungkin dan membuat suara untuk tetap tenang. Meski tubuh ini serasa luruh, namun aku tak berhak untuk mencecarnya lebih jauh. Hanya satu nama untuk sebuah persepsi yang menyatu bagaikan mozaik.
Kisah ini sepertinya akan sedikit lebih rumit. Dimana seorang pria yang mencintai seorang wanita secara diam-diam, namun wanita itu mencintai pria lain.
Sahabatnya sendiri!
“Oh.” Kataku datar.
“Iiih… koq ‘oh’ doang sih!” Kata Tara dengan wajah manjanya lagi.
Jangan memasang wajah itu lagi, kumohon.
Tidakkah kamu tahu betapa kamu seperti telah meniupkan badai di antara bantera persahabatan?!
Tidak, ini lebih dari sekedar itu! Tahukan kamu ada hati yang telah kau tikam diam-diam? Sadarkah engkau bahwa aku tengah menelan jeritanku sendiri. Apa yang lebih menyakitkan dibandingkan menyadari bahwa wanita yang terpilih malah mencintai orang lain? Yang tak lain adalah temannya sendiri?!
Seketika senjaku berubah menjadi gelap. Matahari seakan mewakili apa yang kurasakan, tenggelam hilang. Tak berbekas.
“Jadi aku harus jawab apa?” Tanyaku menahan kesakitan.
“Apa kek. Kasih saran gitu! Kamu kan temen baiknya…”
Benar. Dia adalah teman baikku! Itulah sebabnya ini jadi terasa berkali-kali lebih menyakitkan. Aku tak bisa membencinya karena dia adalah sahabatku! Meskipun ia telah mencuri perhatian darimu hingga membuatmu memiliki sebuah rasa terhadapnya.
Sekarang apa yang harus aku lakukan selain kecanggungan karena hanya aku yang menyadari semua kenyataannya. Termasuk perasaanku terhadapmu, itu adalah sebuah kenyataan. Termasuk persahabatanku dengan Kevin, itu adalah sebuah kenyataan. Apa yang harus kulakukan, saat kuharap semua hanyalah mimpi buruk dan aku terbangun darinya.
Ini menyakitkan. Karena Hanya Aku yang mengetahui SEMUANYA…
Aku menghela nafas panjang dan berharap hanya Tuhan yang saat ini mengerti diriku. Peganglah aku, dalam kerapuhanku. Kemudian aku tersenyum menutupi semua rasa sakitku.
Kemudian untuk sekali lagi —atau terakhir kalinya— aku mengusap ujung atas kepalanya. Sebisa mungkin menahan semua persepsi setan yang menghasutku. Dan… hanya kata-kata ini keluar dari bibirku yang kelu.
“Kudoakan Yang Terbaik Untukmu…”
Benar. Tidak ada yang patut disalahkan akan perasaan ini. Aku tak ingin menjadi orang yang berpura-pura kuat dengan menahan sakit ketika kau bercerita tentang dirinya di depanku. Aku cemburu, ketika kau tersenyum namun bukan untukku. Namun, saat ini… hanya itu yang bisa kuucapkan…
Karena Rasa ini…
Hanya Aku Yang Tahu Bagaimana Indahnya…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment