Thursday, April 6, 2017
yrm
You’re Mom
Judul Cerpen You’re Mom
Cerpen Karangan: Silmi Mimi
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 3 April 2017
Amerika, 6 November 2012
Sunyi, senyap dalam kegundahan, kesepian dan kemuraman layaknya malam yang tak bertabur bintang. Tanpa terhias sang putri bulan menggantung di atas awan, seperti malam yang tengah kujalani ini. Esok tepatnya. Aku harus kembali ke negara tempat aku dilahirkan. Indonesia. Papa dan mama harus kembali disibukkan oleh pekerjaannya di Indonesia. Barang-barang yang harus ku bawa sudah aku siapkan jauh-jauh hari. Aku benci ini. Aku harus berpisah dengan teman-teman di sekolahku. Terutama kepada sahabatku. Angel. Dia seorang Kristiani, hidup di apartemen bersama dengan pamannya yang beragama Islam. Orangtuanya telah meninggal karena kecelakaan lima tahun lalu. Untung saja apartemen yang aku tempati sama sepertinya. Malam ini, dia sudah berjanji untuk menemuiku.
Aku meminta izin kepada mama untuk menemui Angel di taman apartemen. Awalnya, mama tidak mengizinkanku tetapi aku berusaha membujuknya. Akhirnya, Mama mengizinkanku untuk menemui Angel asalkan aku harus kembali tidak lebih dari jam sepuluh malam.
Angin semilir menghanyutkan tubuhku. Aku duduk di bangku taman. Sudah lima menit berlalu, batang hidung Angel belum juga terlihat. Tiba-tiba tubuhku dikagetkan oleh teriakan seorang dari belakang. Dia Angel. Besok dia tidak bisa mengantarku ke bandara. Dia harus datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Malam itu, banyak persoalan yang menjadi bahan pembicaraan anatara aku dan dia. Tak terasa, tinggal berapa menit lagi jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku memeluk erat tubuh Angel. Tak ingin berpisah dengannya. Mungkin, berapa tahun yang akan datang aku bisa bertemu kembali dengannya. Angel. Sahabatku, sahabat yang berbeda keyakinan denganku.
Indonesia, 29 Oktober 2016
Aku sudah terbiasa dengan kehidupan yang aku jalani. Mama dan papa masih tetap sama. Mereka masih digeluti dengan pekerjaannya. Jarang sekali aku berkumpul dengan mereka. Terkadang, sikap mama kepadaku juga berbeda. Entah mengapa. Sedangkan Angel masih bertukar kabar denganku melalui sosial media. Aku bertekad kuat agar aku bisa mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat untuk bertemu Angel. Aku masuk di sebuah sekolah ternama di kota yang aku tempati. Jarak rumah dan sekolahku tidak begitu jauh tetapi ketika berangkat sekolah papa senantiasa mengantarku, begitu pula ketika pulang sekolah papa akan menjemputku tepat pada waktunya.
“Alika… kamu tahu Bu Ratna?” Tanya Sena kepadaku.
“Entahlah, siapa dia?” Balasku.
“Dia guru yang akan menggantikan Bu Nadia untuk sementa…” Perkataan Sena terpotong.
Seorang wanita cantik, berhijab, dan berbadan tinggi telah berdiri di depan kelasku. Semakin lama aku melihatnya, terselip di lubuk hatiku, wajahnya mirip dengan wajahku. Pikiranku terganggu karena tatapan Bu Ratna tertuju kepadaku. Dua ujung bibirnya tertarik. Dia tersenyum. Tersenyum kepadaku. Aku membalasnya. Tiba-tiba perutku terasa sakit. Sakit sekali. Hal itu sudah terbiasa terjadi ketika aku masih tinggal di Amerika. Aku berusaha menahannya. Mengabaikannya. Berusaha memperhatikan Bu Ratna.
Dua jam pelajaran berlalu, bel pertanda pulang sekolah telah berdering. Mobil papa sudah terparkir di halaman sekolah. Aku berlari menghampirinya dan masuk ke dalam mobil. Kaca jendela mobil terbuka, tidak sengaja aku melihat Bu Ratna sedang berdiri dan tersenyum kepadaku. Tiba-tiba papa menutup kaca jendela mobil.
“Kenapa pa?” Tanyaku.
“Tidak apa-apa. Kamu tahu wanita yang berdiri itu?” Ujar papa gugup.
“Ehm… dia Bu Ratna, guru pengganti di kelasku,” Kataku. Papa hanya mengangguk. Di dalam mobil aku hanya diam tidak membicarakan apapun.
Malam harinya aku sedang membuat susu untuk menemani belajarku. Mama dan papa sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja mereka masing-masing. Tanpa aku sadari gelas yang akan aku pakai tersenggol tanganku. Mama keluar dari ruang kerjanya. Aku takut. Pasti mama akan memarahiku. Benar saja. Perkataan pedas terlontar dari bibirnya dan tamparan keras meluncur di pipiku. Air mataku menetes. Papa keluar dari ruang kerjanya. Tidak pernah mama marah kepadaku hingga seperti ini. Papa menyuruhku masuk ke dalam kamar. Aku menurutinya. Di dalam kamar aku mendengar papa dan mama saling beradu mulut. Satu kalimat yang membuatku sangat kaget dengan perkataan mama. Entah itu benar atau tidak. Hanya kesamaran yang aku dengar “Dia bukan anakku.” Setelah aku mendengar perkataan itu, aku menganga. Menangis. Mencerna apa maksud perkataan mama. Air mataku semakin mengalir deras. Apa maksudnya? Entahlah. Aku menangis hingga tertidur. Tertidur hingga pagi hari.
Secercah sinar matahari membangunkanku. Aku langsung terpikirkan dengan kejadian tadi malam. Apa yang dikatakan mama masih menjadi tanda tanya. Mama masih tertidur pulas di dalam kamar sedangkan papa tertidur di ruang kerjanya. Aku bergegas mandi dan segera berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Mataku masih sembab. Perutku berbunyi meminta jatah makan. Aku tak peduli membiarkan perutku lapar. Perkataan mama tidak pernah hilang dari pikiranku.
Matahari tepat di atas kepala membuat siapa saja di bawahnya merasa dalam neraka yang membakar korban-korbannya. Hari ini kulalui seperti hari biasanya, tetapi pikiran itu tidak juga hilang dari benakku. Sena mengajakku ke kantin sekolah dan memakan beberapa makanan yang aku sukai. Ketika perjalanan kembali ke kelas, peruku terasa sakit. Sakit sekali. Aku melihat Bu Ratna tersenyum kepadaku. Ketiga kalinya Bu Ratna tersenyum kepadaku. Dia tersenyum hangat kepadaku. Tiba-tiba pandanganku kabur. Perutku masih terasa sakit. Badanku lemas. Gelap.
Tit… tit… tit… tit… tit…
Suara itu menyelusup ke dalam telingaku. Badanku kaku. Lemas. Mati rasa. Kepalaku terasa pusing. Selang oksigen masuk di dalam lubang hidungku. Beberapa orang berlari ke arahku, papa, mama, Sena, dan Bu Ratna.
“Pa… pa…” Ucapku lirih.
“Iya. Alika cepat sembuh ya. Hiks… hiks… Nanti papa akan belikan apa aja yang kamu mau,” Kata papa sambil memegang halus tanganku. Aku tersenyum. Mama tidak berbicara apa-apa. Matanya sembab dan masih mengeluarkan air mata. Bu Ratna dan Sena tersenyum kepadaku seakan-akan memberiku semangat untuk bangkit.
Sudah tiga hari aku terbangun dari koma. Tubuhku semakin membaik. Aku semakin semangat untuk kembali ke sekolah. Mendapatkan beasiswa ke Amerika untuk bertemu Angel. Aku masih belum tahu penyakit apa yang aku derita. Pemikiran tentang perkataan mama masih teringat jelas di benakku. Sekarang, mama berubah. Ia benar-benar baik dan perhatian kepadaku. Hal itu membuatku berniat untuk membuang jauh-jauh perkataan mama malam itu. Fatal. Sulit untukku lupakan.
Aku masih bernafas dengan bantuan alat oksigen. Hanya istirahat yang aku lakukan tiap harinya. Aku benci tempat ini. Aku ingin kembali ke rumah.
Tiba-tiba saja aku terbangun. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Rupanya, mama sedang berbincang-bincang dengan seorang melalui telephon. Aku melihat mama berbincang sambil meneteskan air mata.
“Alika sudah membaik. Dia mengidap penyakit kanker pankreas stadium empat. Hiks… hiks… Gejala penyakit ini sangat sulit dilihat. Hiks… hiks…” Ucap mama. Aku kaget. Air mataku mengalir deras. Terisak. Mama mengetahui bahwa aku menangis dan langsung memelukku.
Indonesia, 6 November 2016
“Pa… se…benarnya si…apa ma…ma kan…dungku?”
Pagi itu, papa sendirian menungguku. Keadaanku memburuk sejak tadi pagi. Semangatku sedikit demi sedikit telah hilang. Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu kepada papa.
“A…lika kenapa kamu menanyakan hal itu? Kamu harus semangat agar kamu cepat sembuh,” Kata papa kaget. Aku tetap menanyakan hal itu berulang kali kepada papa. Meskipun, hanya suara lirih yang keluar dari mulutku.
“Dia, hiks… dia, Mama Ratna,” Papa menjawab sambil menangis. Aku ikut menangis. Ternyata, selama ini Mama yang telah melahirkanku yaitu dia yang selalu memberikan senyuman hangatnya kepadaku. Iya, dia datang. Mama Ratna. Dia tersenyum kepadaku. Aku berusaha memeluknya. Ia membalasnya. Memelukku erat. Ketika dia melepas pelukannya, dari balik pintu datanglah Mama Icha. Mama yang selama ini merawatku. Dia juga memelukku. Sena datang saat itu juga. Dia menangis mengetahui bahwa keadaanku kembali memburuk. Seorang yang tak terduga juga datang mengunjungiku. Angel. Angel dengan tampilan terbedanya. Auratnya telah tertutup. Angel telah masuk Islam. Angel cantik, sangat cantik. Tiba-tiba bibirku sulit untuk mengucap. Badanku kaku. Papa menuntunku mengucap kalimat yang amat bermakna. Aku mengikutinya dengan terbata-bata. Aku berdoa agar mereka yang menemaniku saat akhir itu akan hidup bahagia. Aku tersenyum sedangkan mereka menangis. Menangisiku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment