Thursday, April 6, 2017
ps
Putri Sehari
Judul Cerpen Putri Sehari
Cerpen Karangan: Betry Silviana
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 3 April 2017
“Apakah ada lagi yang harus hamba lakukan, Putri?” tanya salah seorang pelayan.
“Tidak. Kau boleh pergi!” jawab seorang gadis singkat.
Sang pelayan pun lalu pergi meninggalkan gadis itu sendirian di kamarnya yang megah. Gadis itu tampak sangat menikmati kehidupannya sebagai seorang putri. Ia berjingkrak-jingkrak di atas kasur mahalnya yang empuk. Sesekali ia bernyanyi seperti orang gila.
BRUK!
Gadis itu terduduk di lantai. Ia mengelus-elus pantatnya yang terasa sakit. Ia lalu mengedarkan pandangannya. Ia telah kembali ke kamarnya yang sederhana dengan langit-langit yang bercat biru itu. Tangannya kemudian meraba-raba meja belajarnya.
“Busyet… sudah jam setengah 7!” matanya melotot tak percaya. Ia langsung bangkit dan bergegas mandi.
Hah… hah… hah…
Milda akhirnya berhasil sampai di depan kelas. Belum terdengar sama sekali lonceng tanda masuk kelas. Milda lalu mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal. Gara-gara keenakan mimpi menjadi seorang putri, ia hampir saja terlambat ke sekolah.
Milda cepat-cepat masuk ke kelasnya dan langsung duduk di bangkunya. Milda senyum-senyum sendiri mengingat mimpi yang selalu dibayanginya itu. Andai aja mimpi itu jadi nyata! Aku pasti senang banget, batinnya.
Milda mengedarkan pandangannya. Ruang kelas kosong. Tak ada seorang pun yang datang kecuali dirinya. Milda merasa sedikit aneh. Biasanya jam-jam segini, teman-temannya sudah nongkrong di kelas.
“Selamat pagi, Tuan Putri!” sapa Herli tiba-tiba.
“Tuan Putri?” ucap Milda terkejut, kemudian tertawa geli. “Hei, sejak kapan kau panggil aku Tuan Putri? Aneh-aneh aja kelakuanmu hari ini, Her!”
“Apa Tuan Putri sakit?” Herli tampak cemas. Ia lalu menempelkan telapak tangannya ke kening Milda.
“Apa-apaan sih! aku sama sekali nggak sakit!” dengan cemberut Milda melepaskan telapak tangan Herli dari keningnya.
“Hari ini Anda aneh sekali,” Herli tampak khawatir.
Belum sempat Milda melanjutkan pembicaraannya, satu per satu para penghuni kelas berdatangan. Mereka tak lantas menempati tempat duduk mereka. Mereka semua secara rapi berkumpul di tempat Milda duduk.
“Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk Tuan Putri?” tanya Herman begitu tiba.
“Kalian semua kenapa sih? Pagi-pagi pada ngumpul di sini. Trus manggil aku Tuan Putri segala,” ucap Milda emosi.
“Apakah Tuan Putri sakit? Bukankah setiap hari kami memang memanggil Anda seperti itu!” jawab Herman disertai anggukan seluruh kelas.
“Apa kami perlu mengantar Tuan Putri ke UKS? Sepertinya Tuan Putri sakit,” lanjut Herli.
“Tidak… tidak usah. Kalian semua sebaiknya duduk! Sebentar lagi Bu Ellin datang,” jawab Milda bingung.
“Baik, Tuan Putri,” jawab para penghuni kelas serempak.
Jam istirahat pun tiba. Biasanya Milda sangat bersemangat menuju kantin. Tapi tidak untuk hari ini.
“Minggir… minggir… minggir… Tuan Putri mau lewat!” ucap Herman diikuti oleh beberapa siswa penghuni kelas.
Semua yang ada di kantin sontak melihat ke arah Milda. Beberapa dari mereka terlihat bingung. Tapi ada pula yang tertawa melihat tingkah teman-teman Milda yang menurutnya memang cukup memalukan.
“Silahkan, Tuan Putri!” ucap Herman mempersilahkan Milda duduk.
Dengan malu-malu Milda duduk. Terlihat semua teman-temannya berdiri di dekatnya layaknya seorang pengawal. Ia beberapa kali mencoba meminta agar teman-temannya duduk, tapi tak ada satu pun yang mau menuruti perkataannya.
Dalam sekejap, ia menjadi tontonan menarik di kantin. Milda ingin sekali menutup wajahnya dan pergi. Tapi perutnya yang sudah meminta untuk diisi, berhasil mengurungkan niatnya itu.
“Tuan Putri mau makan apa? Biar saya yang pesankan!” ucap Maggie ramah.
“Tidak usah. Biar aku aja!” milda hendak beranjak dari bangkunya, tapi Maggie menahannya.
“Biar saya saja. Saya ini memang seharusnya melayani Tuan Putri,” jawabnya dengan wajah memelas.
Milda merasa tidak nyaman dengan sikap Maggie dan teman-temannya. Dengan terpaksa Milda menyuruh Maggie memesan makanan. Maggie dengan sigap menuruti kemauan Milda. Ia langsung memesan makanan ke Bi Irah, sang pemilik kantin.
“Oya, kalian lihat Herli nggak?” tanya Milda sambil menunggu pesanan makanannya datang.
“Tidak. Apakah kami perlu mencarinya?” tanya Herman.
“Tidak usah. Nanti juga ketemu di kelas,” jawab Milda sembari menyuap mie yang baru saja datang.
Milda benar-benar merasa tak nyaman dengan teman-teman sekelasnya itu. Sejak pagi mereka memperlakukanya layaknya seorang putri, seperti keinginannya. Walaupun ia senang karena mimpinya selama ini akhirnya menjadi kenyataan, tapi ia merasa sangat risih dan juga sedih. Saat makan, teman-temannya hanya berdiri di dekatnya. Tak ada seorang pun yang mengobrol dengannya. Berbeda sekali dengan biasanya. Saat di kantin, ia biasa mengobrol sambil makan dengan Herli, Herman, maupun Maggie si siswa baru.
Kelas bener-benar terasa aneh. Tak ada satu pun yang memperlakukan Milda sebagai teman seperti biasanya. Semuanya memperlakukannya seperti seorang putri yang dihormati. Apa pun yang ia mau, teman-temannya yang mengerjakannya. Bahkan Herli yang biasanya menjadi teman curhatnya, hari ini menuruti apa saja yang diinginkannya.
Milda menarik napas panjang, lalu bangkit dari tempat duduknya dengan wajah yang sedih. Ia berharap teman-temannya memperlakukannya seperti biasanya, sebagai seorang teman bukan sebagai seorang putri yang dihormati. Memang senang menjadi seorang putri yang selalu dituruti apa pun kemauannya. Tapi, ia merasa sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa diajak bercanda ataupun sekedar mengobrol.
“Happy birthday Milda, happy birthday Milda, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you!” Milda dikejutnya dengan lagu itu.
Herli tiba-tiba datang dengan membawa kue ulang tahun dengan lilin yang siap ditiup. Ia sangat terkejut dan tak bisa berkata apa-apa. Perasaannya bercampur aduk tak karuan.
“Gimana, Mil? Senang nggak menjadi seorang Putri di ulang tahunmu?” tanya Herli cekikikan.
“Ini pasti ide dari kamu! Iya kan? Siapa lagi yang tau kalau aku ingin menjadi seorang putri selain kamu,” ucap Milda dongkol.
“Maaf deh. Tapi kamu suka kan?” jawab Herli sembari mengulurkan kue. “Cepat tiup lilinnya! Pegal nih tanganku.”
Milda akhirnya merayakan ulang tahunnya di kelas. Suasana begitu ramainya. Saat membagi kue, Herman langsung mencomot potongan kue dan makan dengan lahapnya. Di bibirnya penuh dengan krim mentega kue. Melihat tingkah Herman seperti itu, Milda dan juga teman-teman lainnya tertawa terbahak-bahak. Herman yang melihat mereka menertawakannya, langsung mengelap bibirnya dan tersenyum malu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment