Wednesday, April 5, 2017

ms

Memeluk Senja Judul Cerpen Memeluk Senja Cerpen Karangan: Lailatul Hauliyah Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih Lolos moderasi pada: 4 April 2017 Hari ini masih sama saja seperti hari-hari sebelumnya tak ada yang berbeda, masih penuh dengan kehangatan. Hari ini pun aku masih harus bekerja padahal hari ini hari minggu dan esok sudah mulai memasuki Ramadhan seperti itulah yang kudengar dari salah satu stasiun tv swasta kemarin. “Mamiq” sapaku hangat pada sosok yang telah banyak mengajarkan hidup. Dia adalah Ayahku. “Saya berangkat kerja dulu, Miq” lanjutku menyalami tangan kecil beliau. “Hati-hati, Nak?” pesannya. Dan aku mulai melangkahkan kakiku ke sebuah warung kecil di ujung jalan sana. Warung keluarga lebih tepatnya. “Ela pindahkan piring ini ke dapur” baru saja aku ingin memindahkan piring itu sebuah teriakan lain pun terdengar menyuruhku untuk mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Ya di sinilah aku di sebuah warung kecil yang sederhana. WARUNG NASI EBATAN HJ. LADUNI tepatnya. Aku sudah bekerja di sini selama 4 bulan lebih. Sedang asik-asiknya melamun sebuah teriakan terdengar dari arah dapur. “Ibu, Kakek saya dia kenapa itu?” Deg…. Kakek? Itu berarti Ayahku karena yang punya warung ini adalah kakakku. Tiba-tiba aku tersadar ada apa dengan Ayahku? Dan aku langsung berlari menuju ke rumahku. Ya Allah, Mamiq. Sosok itu sosok orang yang aku salami tadi pagi. Dia… Allah apa yang terjadi? Aku melangkahkan kakiku perlahan-lahan dan orang-orang yang melihatku hanya tersenyum menegarkan tangisku pun luruh kala aku melihat sosok laki-laki yang selalu setia menggandeng tanganku ketika aku kecil kini telah terbujur kaku. “Mamiq” “Jangan tinggalkan Ela, Miq” “Ela mohon” “Jangan tinggalkan Ela, Miq” “Mamiq…” Aku terus menangis sampai suara itu mengalihkan tangisku. Dia Aan sahabat terbaikku. “Ikhlaskan, La, Bukankah kita akan menemukan akhir yang sama?” “Bukannya aku tidak ikhlas, An tapi ikhlas itu susah kan, An?” “Iya, tapi kita harus ikhlas” Dan aku pun melanjutkan tangisku. Sedih sekali rasanya melihat Ia telah tiada. Allah kenapa kau memanggilnya lebih dulu? Pemakaman telah selesai dan di sinilah aku berada di halaman rumahku menatap senja yang mulai merayap menyapa malam ditemani sinar hangatnya yang mulai merasuk kalbu, memelukku erat. Senja, aku kehilangan untuk yang pertama kalinya. Mamiq, tenang di sana do’aku selalu menyertaimu.

No comments:

Post a Comment