Saturday, April 22, 2017

Penyihir

Penyihir Cerpen Karangan: Pearl Nafeesa Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Fantasi (Fiksi) Lolos moderasi pada: 22 April 2017 17 September 2012 Namaku Raisa Alika. Umurku 10 tahun. Aku baru saja sembuh kanker otak. Aku salah satu survivor penyakit mematikan itu. Karena aku langsung melaporkan Bunda kalau aku merasa tak enak badan. “Raisa, kamu jadi pergi ke rumah Ana gak?” Tanya Bunda. “Jadi, bun! Sebentar!” Aku pergi ke kamarku segera mengganti pakaian. Setelah selesai mengganti pakaian, aku berpamitan pada Bunda. “Bun, Raisa pergi dulu ya.” Aku menyalami tangan Bunda. “Iya, hati hati ya.” Ucap Ibu. Aku keluar rumah. Kalian pasti bertanya tanya, untuk apa aku ke rumah Ana? Karena aku hanya ingin main kok. Di depan rumah Ana, aku melihat Ana. “Ana!” Bukannya dibalas senyum atau sapaan, ia malah menunjukkan pandangan kaget padaku lalu pergi. Aku berlari mengejarnya. Tapi.. aku semakin mengantuk. Padahal aku tidur siang. Tunggu, kepalaku pusing. 17 September 2013 “B-bunda..” kata pertama yang kuucapkan setelah siuman, Bunda menatapku khawatir. “Raisa! Kau sudah siuman. Alhamdulillah..” Ibu memberiku teh. Aku menyadari bahwa aku berada di rumah sakit. Aku melihat infus terpasang, apa yang terjadi? “Bunda, seingat Raisa, Raisa melihat Ana di depan rumahnya. Lalu Raisa tiba tiba pusing.” Jelasku. Lalu tiba tiba, rumah sakit berubah gelap. Lalu, sosok Ana dengan pakaian putih penuh darah muncul di hadapanku. “A-ana?” Aku mulai ketakutan. Ana tersenyum, “Aku Ana, benar. ” “Maaf, aku sebenarnya sudah meninggal, Raisa. Aku meninggal karena dianiaya keluargaku.” Aku kaget, “Mengapa? Selama ini orangtuamu baik padamu.” Ana kembali tersenyum. “Aku penyihir, Raisa. Orangtua asliku juga penyihir, jadi sebenarnya mereka orangtua angakatku. Aku bergentayangan karena aku belum tenang. Aku ingin memberitahu yang sebenarnya padamu. Aku menyihir orangtuaku agar baik padaku. Tapi, tanpa kusadari sihir itu punya jangka waktu. Dan saat jangka waktu sihir itu habis, aku tak menjelaskan apa apa, orangtuaku kembali sadar. Tapi, nasibku malang. Orangtuaku menemukan tongkat sihir di bawah tempat tidurku saat sedang bersih bersih. Mereka menyuruhku untuk menjelaskan semuanya. Dan, jadilah aku meninggal.” Kata Ana panjang lebar. “Ana.. semoga kamu tenang, ya. Aku akan mendoakanmu.” Kataku sedih. “Maaf juga aku menyihirmu. Aku tak bermaksud, Raisa. Aku hanya tidak ingin kau terlibat bahaya di rumahku.” Ana melambaikan tangan. Bayangan Ana pergi, keadaan kembali normal. Aku tersenyum, “Innalillahi wa innalillahi rajiun, semoha kau tenang, Ana.” FIN

No comments:

Post a Comment