Thursday, April 6, 2017

TK

Terhunus Kwetiau Judul Cerpen Terhunus Kwetiau Cerpen Karangan: Ebit Frista Kategori: Cerpen Lucu (Humor), Cerpen Patah Hati Lolos moderasi pada: 1 April 2017 Sampai sekarang Gentur masih ingat betul rasa sakit yang dirasakannya setelah menghabiskan senja bersama Ningsih. Agak aneh, meski rasa sakitnya waktu itu terasa seperti sedang terhunus pedang, tapi tidak ada sedikit pun darah yang keluar mengalir. “Di sini sakit” kata Gentur, sambil memegangi perutnya. “Ya, memang gak nyampe berdarah.” Timpal Gentur lagi. Gentur meringis menahan rasa sakit yang teramat sangat. “Makasih ya.” Sambil tersenyum. Itu kalimat terakhir yang Gentur ucapkan di hadapan Ningsih senja itu. Pagi hari setelah senja yang dihabiskan Gentur bersama Ningsih kemarin. Seorang dokter kedapatan sedang membulak-balikan tubuh Gentur di sebuah klinik kesehatan. Dokter itu menempel-nempelkan stetoskop di beberapa tempat pada tubuh Gentur. Sepertinya dokter ingin mendengarkan seluruh irama yang dihasilkan dari setiap apa saja yang bisa menimbulkan suara dari dalam tubuh Gentur. Dokter menyuruh Gentur untuk membuka mata lebar-lebar, lalu menarik kelopak matanya ke atas. Dokter mengarahkan cahaya dari senter kecilnya ke sana. Selanjutnya dokter menyuruh Gentur untuk membuka mulut lebar-lebar. Lalu arah cahaya senter pun dia alihkan ke sana, ke dalam mulut yang sudah lebar menganga. “Hmm, beruntung lukamu gak parah-parah banget.” Kata dokter, sambil memadamkan lampu senter lalu memasukannya ke dalam saku baju. “Tahanlah dikit. Dua, atau tiga hari lagi juga sembuh.” Katanya lagi, sebelum duduk di kursinya. Rasa sakit yang diterima Gentur senja kemarin adalah yang terparah yang pernah Ia rasakan. Ningsih seakan ingin mencoba membunuhnya. “Iya, aku pernah makan berdua sama dia.” Kata Ningsih dengan tenang. Jawaban itu adalah jawaban yang tak pernah Gentur harapakan keluar dari mulut Ningsih. Ketika Gentur bertanya, apakah Ningsih pernah berdua-duaan dengan laki-laki lain. Setelah mendengar jawaban Ningsih, Gentur membisu. Tak ada lagi canda gurau yang biasa keluar dari mulutnya. Gentur terdiam beberapa menit. Ningsih pun begitu. Sampai akhirnya Ningsih kembali membuka percakapan. “Kamu nyesel?” Tanya Ningsih dengan berani, seakan-akan maut masih teramat jauh dari urat lehernya. Gentur tidak menjawab. Gentur sudah terlanjur kesal dengan jawaban Ningsih tadi. “Kenapa kamu gak jawab?” Ningsih mengajukan pertanyaan lain. Gentur menatap mata Ningsih sebentar, lalu menghela nafas agak panjang. “Nyesel?” Gentur mengulang sepotong kalimat dari pertanyaan Ningsih tadi. “Kamu tau, Nyesel itu memang datengnya suka telat. Datengnya selalu belakangan setelah semua kejadian. Kecuali…” Gentur mengambil jeda beberapa detik sebelum melanjutkan kata-katanya. “Kecuali karena aku yang dateng duluan ke sini. Aku dateng lebih dulu dari kamu. Aku jadi nyesel karena aku datang duluan.” Gentur tersenyum kecut, lalu melanjutkan kembali kata-katanya. Kali ini sambil memainkan garpu di tangan kirinya. “Ternyata ada juga yah, nyesel yang datengnya duluan? hahaha” Tiba-tiba Gentur tertawa sendiri. Tawanya agak getir. Bisa-bisanya Gentur memberikan lelucon di saat penting seperti ini. Gentur sebenarnya sudah lama menantikan saat-saat seperti ini. Di mana akhirnya dia memiliki kesempatan menghabiskan senja berdua bersama Ningsih. Tapi jawaban Ningsih sudah terlanjur membuat Gentur sangat kecewa. Maka dia menutupi kekecewaannya dengan gurauan-gurauannya yang sama sekali tidak lucu. Meski pun Gentur tertawa puas, bukan berarti Gentur sedang bahagia. Sebagaimana Ningsih pun hanya terdiam melihat Gentur terus tertawa. Ningsih tidak peduli lagi dengan tawa Gentur. Ningsih cepat-cepat memesan makanan, mungkin dia ingin semua ini cepat berlalu. Ningsih tahu, jawaban dia mungkin sudah membuat Gentur kecewa. Ningsih tidak ingin berlama-lama bersama orang yang bisa dengan tidak sengaja akan terus dia sakiti. “Kamu suka pedes?” Tanya Ningsih pada Gentur. “Hmm, iya, tapi gak terlalu.” “Aku tadi pesen kwetiau yang pedesnya level dua. Kamu mau pesen apa?” “Aku?” Gentur terlihat bingung. “Aku pesen yang sama aja. Samain aja sama yang kamu” Gentur sudah tidak ingin memikirkan apa yang akan dia makan. Karena sebetulnya di dalam benaknya hanya ada rasa kecewa, namun tidak ingin dia tunjukan itu di hadapan Ningsih. “Andai Ningsih bisa mengubah dunia sekali pun, aku bersumpah Ningsih tidak akan pernah bisa merubah perangaiku, ‘GENTUR’” Gentur berkata dalam hatinya, dan menegaskan bahwa seorang Gentur tidak akan pernah merubah sikap hanya karena kalah oleh wanita. Makanan akhirnya datang di hadapan mereka. Aroma pedas cabe merahnya menusuk hidung. Asap yang masih mengepul di atasnya menunjukan suhu kuah yang masih panas. Gentur menelan ludah. Gentur baru ingat bahwa dirinya memiliki masalah dengan lambungnya. Meski hanya level dua, kwetiau pedas bisa membunuhnya. Gentur tidak serta mundur dari pertaruhan. Dalam benaknya “Aku ini laki-laki. Aku gak boleh mundur kayak pecundang”. “Hidup yang tak dipertaruhkan tak kan pernah dimenangkan.” Gentur tidak ingin terlihat lemah. Gentur tidak ingin terlihat sebagai laki-laki yang “kalah” hanya untuk menaklukan makanan pedas. Satu sendok kuah dia seruput habis. Tidak ada masalah serius yang terjadi. Meski keringat dan sejenis cairan dari hidungnya mulai bercucuran, semua masih baik-baik saja. Hal Itu membuat percaya diri Gentur untuk menghabiskan semangkuk kwetiau dengan pedas level dua makin tinggi. Sedangkan Ningsih dengan amat tenang menelan kwetiaunya perlahan. Huap demi huap kwetiu terus masuk ke dalam mulutnya. Akhirnya Gentur sanggup menghabiskan semangkuk kwetiau yang seharusnya tidak Ia pesan. Sedangkan Ningsih tidak menghabiskan kwetiau miliknya. Dia sedikit menyisakannya. Ningsih seperti kebanyakan wanita yang tidak ingin terlihat rakus. Setelah semua beres mereka berdua berlalu. Tentu setelah bayar dan berpamitan. Gentur dan Ningsih memiliki jalan pulang yang berbeda. Gentur ke barat dan Ningsih ke timur. Maka perpisahan dimulai dari situ. Ningsih mungkin sedikit bingung harus melakukan apa kepada Gentur setelah pertemuan yang membuatnya kecewa. Ningsih sebetulnya tidak memiliki niatan untuk membuat Gentur sakit hati. Sedangkan Gentur di arah pulang yang sebaliknya, sudah tidak ingin memikirkan Ningsih lagi. Ningsih sudah terlanjur membuatnya kecewa karena ternyata dia juga membuka kesempatan untuk orang lain selain dirinya untuk dekat dengannya. “Tapi itu hak Ningsih” dalam benak Gentur. Tidak ada jalan lain selain merelakannya. Gentur bernyanyi dengan suara pelan setelah beberapa langkah terpisah dengan Ningsih yang pulang beda arah. “Aku lelaki tak mungkin, menerimamu bila ternyata kau mendua membuatku terluka, tinggalkan saja diriku yang tak mungkin menunggu, jangan pernah memilih, aku bukan pilihan… dududu lalala… Langkah Gentur melambat. Tiba-tiba seperti ada adu panco yang saling mendorong dan menahan di antara otot-otot pencernaannya. Nafas Gentur pun terasa semakin sesak. Gentur lalu memegangi perutnya yang semakin penuh. Gentur ambruk di sisi trotoar. Ningsih yang menyadari ada sesuatu yang salah terjadi pada Gentur langsung berbalik dan berlari menghampri Gentur. Ningsih memberhentikan mobil angkot yang kebetulan melintas sambil menjepit hidungnya menggunakan jempol juga telunjuk. Ningsih lalu meminta tolong kepada para penumpang untuk segera mengangkat Gentur ke dalam mobil. Tak lupa Ningsih menitipkan Gentur pada supir angkot untuk diantarkan pulang ke rumahnya. Saat itu Ningsih tidak bisa ikut mengantar Gentur pulang. Ningsih bilang malam ini ada janji dengan sesorang. Seseorang yang entah. Sebelum mobil membawanya pergi dan berlalu Gentur sempat menegur Ningsih dan memintanya untuk kembali mendekat. Lalu terdengar suara duuuut.. panjang yang keluar dari entah. Entah apa. Entah apa. mungkin itu bau. Bau perpisahan antara Gentur dan Ningsih. “Di sini sakit” kata Gentur, sambil memegangi perutnya. “Ya, memang gak nyampe berdarah.” Timpal Gentur lagi. Gentur meringis menahan rasa sakit yang teramat sangat. “Makasih ya.” Sambil tersenyum. Itu kalimat terakhir yang Gentur ucapkan di hadapan Ningsih senja itu. Iya, senja itu… Sambil berlalu… La… la… la…

No comments:

Post a Comment