Thursday, April 6, 2017
RN
Rahasia Nenek
Judul Cerpen Rahasia Nenek
Cerpen Karangan: Hidaya
Kategori: Cerpen Horor (Hantu)
Lolos moderasi pada: 31 March 2017
Sekujur tubuhku kaku. Seperti ada lima karung beras terisi penuh yang menimpa ragaku. Mata dan mulutku juga tak dapat kubuka, laksana ada lem yang merekatnya. Tapi aku masih bisa mendengar suara. Suara seperti seorang kakek tua yang sedang marah. Aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Hingga satu kalimat yang pasti tertangkap oleh telingaku, “Aku lapar!”
—
Sudah seminggu aku berada di rumah nenek. Dari pertama aku lahir ke dunia ini, baru sekarang aku mengunjungi nenek. Mungkin karena jarak yang jauh, mengingat aku dan orangtuaku berada di Putussibau (Kalimantan Barat) dan nenek berada di Blitar (Jawa Timur), dan kondisi keuangan kami yang tidak bagus kala itu. Kebetulan sekarang aku sedang menempuh pendidikan di Jakarta, jadi aku bisa mengunjungi nenek kapan saja. Kebetulan juga sekarang aku sedang liburan semester untuk pertama kalinya.
Karena sudah seminggu aku menginap di rumah nenek, maka sudah seminggu pula aku terkena tindihan. Awalnya aku mengira aku terkena sleep paralysis. Mungkin aku kecapekan setelah berjam-jam menempuh perjalanan dari Jakarta ke Blitar, pikirku. Tapi setelah terkena tindihan ke tujuh kalinya tadi malam, rasanya bukan sekedar sleep paralyzis yang biasa terjadi karena kecapekan. Masih teringat jelas rasanya tertindih sesuatu yang tak dapat kulihat dan kusentuh. Dan suara seorang kakek tua itu masih terngiang-ngiang di otakku.
“Cu, pagi-pagi kok sudah bengong?” tanya nenek ketika melihatku meringkuk dan memandang ke satu arah. Nenek pikir aku lagi melamun.
“Hehe.. nggak, Nek. Shinta lagi lihat indahnya pemandaman di sini saja.” Jawabku sewajarnya. Padahal pemandangan yang kulihat di sana sini hanyalah rumah orang dan jalanan yang naik turun. Biasa saja!
“Nggak boleh bengong pagi-pagi, cu. Nanti kesambet hantu di sini, lho.”
Betul juga kata nenek, aku tidak boleh bengong-bengong tidak jelas. Mungkin saja yang kualami semalam hanya bagian dari mimpi burukku. Bukan kenyataan.
“Shinta mau beres-beres rumah dulu ya, Nek.” Aku pun berdiri dan meninggalkan nenek.
Membersihkan rumah nenek sudah menjadi ritual rutin bagiku akhir-akhir ini. Rumah nenek sungguh besar, layaknya sebuah mansion peninggalan jaman Belanda. Penuh dengan ruangan-ruangan yang bahkan tak semua dapat dimasuki pemiliknya setiap hari. Butuh berhari-hari untuk membersihkannya. Ditambah lagi rumah nenek sepertinya tidak pernah dibersihkan seluruhnya. Padahal nenek tinggal bersama cucunya yang satunya lagi, Rio namanya. Ia beda tiga tahun dibawahku dan anak yatim piatu. Orangtuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih bayi. Jadi neneklah yang mengasuhnya hingga saat ini.
“Kenapa kamu nggak bantu nenek bersih-bersih, Rio?” tanyaku ketika aku hanya melihat nenek yang membersihkan rumah. Waktu itu aku baru saja datang dari Jogja.
“Aku males, mbak!” jawab Rio ketus.
Dasar pemalas! Sudah diasuh nenek bertahun-tahun malah tidak tahu berterima kasih. Setidaknya bersihkan rumah nenek, kek! Masa’ nenek yang punggungnya saja sudah sedikit membungkuk dan jalannya tergopoh-gopoh harus menyapu!, marahku dalam hati. Aku tak kuasa untuk memarahinya. Aku pikir karena Rio masih SMA dan dia juga laki-laki makanya dia bersikap seperti itu.
Aku memasuki sebuah ruangan gelap yang sepertinya luas. Saat itu juga kurasa hawa di sekelilingku berubah menjadi dingin. Bulu kudukku berdiri. Segera kucari di mana step kontak lampunya. Ini dia! Aku pun segera menekan tombol step kontak lampunya. Terlihatlah sebuah ruangan berukuran 3 x 3 meter. Hanya ada sebuah lemari kayu dua pintu yang sudah tua. Aku kira ruangan ini luas, lebih luas dari ruangan-ruangan lainnya. Ternyata malah lebih sempit. Dan bersih! Sepertinya nenek sering membersihkan ruangan ini.
Duk… Gruduk… Gruduk… Duk…
Suara apa itu? Suaranya pelan sekali, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Seperti suara orang menggedor sesuatu yang terbuat dari kayu. Darimana suara itu berasal? Apa dari jendela kayunya? Kubuka jendelanya. Tidak ada apa-apa. Ruangan ini berada di lantai dua, siapa yang tidak ada kerjaan menggedor pintu jendelanya? Atau suara itu berasal dari…
Duk… Gruduk… Gruduk… Duk… Gruduk… Gruduk… Duk…
Suara itu berasal dari lemari kayu. Kali ini suaranya terdengar jelas seperti sesuatu yang menggedornya dengan paksa. Lemari itu berguncang sebentar dan diam sesaat setelah suara itu menghilang. Aku pun segera membukanya alih-alih takut ada pencuri di dalamnya. Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Hanya ada sebuah barang. Sebuah kotak tanpa penutup yang di atasnya ada sebuah keris kecil. Di atas keris kecil tersebut bertaburan bermacam-macam bunga, seperti bunga mawar dan bunga melati. Aku tertegun melihatnya. Kenapa benda ini bisa ada di sini?
Tiba-tiba keris itu bergoyang sendiri. Aku pun segera lari ketakutan, tak peduli lagi dengan tujuanku untuk membersihkan ruangan itu. Ada hantu di rumah ini. Pasti! Teriakku dalam hati.
Aku ceritakan semua kejadian yang kualami tadi pagi dengan Rio. Semua kejadian dari aku kena tindihan setiap hari sampai kejadian di ruangan itu, Rio hanya menanggapi, “Mbak mimpi kali, tuh. Mimpi di siang bolong.” Kemudian Rio tertawa seakan meledekku.
“Ini serius, Rio. Aku bicara jujur sama kamu. Karena hanya kamu yang bisa kuajak bicara di sini.” teriakku.
Rio berhenti tertawa. Dia hanya melihatku dengan tatapan apakah-mbak-tidak-sedang-menakutiku. “Mbak tidak sedang bercanda?”
Aku mengangguk. Sepertinya Rio sedang ingin mengatakan sesuatu. Sesekali mulutnya sedikit terbuka, ingin berbicara, tapi diurungkannya. Sesekali juga ia menggarukkan rambutnya, aku bertaruh kalau rambutnya sedang tidak gatal.
“Mbak, sebenarnya barang yang mbak temukan di lemari itu peliharaannya Nenek.”
“Yang serius dong, Rio.”
“Aku serius, mbak.”
“Peliharaan katamu? Sejenis hewan peliharaan?” tanyaku seakan tak percaya.
Rio mengangguk. “Aku nggak mau membahas ini lagi mbak.” Jawabnya sambil melangkah pergi meninggalkanku yang masih penuh dengan rasa penasaran.
Malam ini rasanya aku tidak ingin tidur saja. Kalau aku tidur, bisa-bisa aku tindihan lagi. Tapi aku tak bisa melawan rasanya kantukku. Dan aku pun terlelap.
Aku mendengar suara kakek tua itu lagi. Ia sedang berbicara yang tidak kumengerti karena memakai bahasa Jawa yang halus sekali. Ia bicara padaku? Batinku karena aku mendengar ia menyebut namaku berkali-kali. Sampai akhirnya aku mendengar ia berbisik tepat di depan telingaku, “Aku mau makan Rio!”
Aku kesakitan saat aku terbangun. Kutemukan diriku berada di lantai samping tempat tidurku. Sepertinya aku barusan terjatuh.
“Mbak, aku mau ke warnet. Jangan cari-cari aku.” Rio tiba-tiba muncul dari balik kamarnya. Tangannya baru saja merogoh sesuatu ke dalam sakunya, sepertinya beberapa ribu uang, kemudian tangannya ia keluarkan lagi. Tumben anak ini pamitan dulu sebelum pergi, biasanya main pergi saja.
Aku hanya menyahut, “Oke.”
Sebenarnya aku ingin menceritakan tentang tindihan yang ku alami semalam. Kakek itu mau makan Ri…
Braaakkk…
Kira-kira setelah sepuluh detik Rio pergi, kudengar suara seperti ada tabrakan. Lalu hening seketika. Aku terkejut dan tanpa babibu lagi langsung berlari ke luar rumah menuju sumber suara itu. Ini tak mungkin jadi nyata. Tak mungkin!
Sesampainya di lokasi, ternyata ada kecelakaan. Ada sebuah truk pengangkut sampah menabrak pohon. Sang sopir kelihatan syok sekali karena telah menabrak sesuatu. Darah berceceran di jalan. Di seberang jalan terlihat kerumunan warga sekitar. Aku pun segera menerobos, ingin tahu siapa korbannya. Saat sudah di depan korban, aku sangat terkejut. Rio!
—
Langit hari ini sungguh gelap. Gerimis pun seolah tak mau berhenti dari semalam. Padahal ini sudah jam 9 pagi. Seakan langit pun merasa berduka karena Rio hari ini telah dimakamkan. Aku tak menyangka Rio akan pergi secepatnya ini. Padahal aku baru bertemu dengannya selama sepuluh hari. Aku tak percaya bahwa bisikan kakek tua saat aku tindihan itu nyata. Aku takut ini bakal terjadi terhadapku. Rasanya aku ingin pulang saja.
Aku melihat nenek tepat di depanku, di depan makam Rio. Dia menangis tersedu-sedu, sesekali memanggil nama Rio. Tapi sesaat kulihat nenek menangis bukan karena sedih. Nenek tampak bahagia. Sempat kupergoki dia tersenyum lebar beberapa kali.
Aku pun keluar dari kerumunan warga sekitar yang mengelilingi makam Rio. Membuka payung dan melangkah untuk pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang memegang tanganku. Tangan yang keriput. Seorang kakek tua.
“Aku tetanggamu sekaligus teman nenekmu sejak kecil.” Ujar kakek itu ketika kami tiba di pendopo, sedikit jauh dari kompleks kuburan.
“Nama saya Shinta, kek. Saya cucu nenek yang dari Pulau Kalimantan.” Balasku.
“Aku tahu kamu dari Rio. Rio sering berbicara tentangmu.”
Aku tersentak kaget saat kakek bilang begitu. Ternyata diam-diam Rio… “Berapa banyak yang sudah diceritakan Rio tentangku, Kek?”
“Banyak hal. Termasuk kamu yang sering tindihan saat di sini padahal kamu belum pernah tindihan sebelumnya. Dan kamu melihat benda itu.”
Aku mengangguk karena aku benar-benar mengalaminya.
“Aku sebenarnya yang melarangnya untuk memberitahu ini kepadamu. Tapi setelah kejadian ini, sepertinya nenekmu tak akan pernah mau berubah.”
Aku mengernyitkan dahi. Apa ini semacam rahasia nenek? Yang ingin diberitahukannya kepadaku?
“Kamu tahu pesugihan, kan?”
Aku mengangguk. Aku sering mendengarnya di televisi. Seperti meminta bantuan kepada setan agar bisa menjadi kaya.
“Nenekmu melakukan pesugihan itu supaya bisa menikahi kakekmu yang kaya raya.” Kakek itu terdiam, lalu menghela napasnya dengan keras. “Kamu ingin tahu apa syarat dari pesugihan itu?” Kakek itu tiba-tiba menatapku, menunggu jawaban dariku. Jelas saja aku ingin tahu. Tapi aku hanya membisu.
“Seluruh keturunan laki-laki nenekmu adalah syaratnya. Mereka harus jadi tumbal untuk setan yang dipuja nenekmu. Mereka harus mati!”
Setelah aku berbicara dengan kakek tua yang kutemui di makam itu, aku pun langsung mengemasi barang-barangku dan pergi dari rumah nenek. Aku tak mau lagi menginap di rumah ini. Aku jadi teringat adikku, Aryo. Tiba-tiba handphoneku berdering. Dari mama! Aku mengangkatnya.
“Sayang, kamu lagi di mana? Cepat pulang! Aryo meninggal!”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment