Thursday, April 6, 2017
lb
Lebih Baik
Judul Cerpen Lebih Baik
Cerpen Karangan: Intan Kezai
Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 3 April 2017
Rasa memendam sudah tidak terbendung lagi. Maafkan aku bila ini harus terjadi.
“Abel! Abel! Abel… apa yang kau lakukan?!” teriak ketakutannya semakin luas terdengar, membuatku ingin segera mengakhirinya.
“maaf, kakak tersayang. Rasa pedih yang selama ini kau berikan padaku membuatku berpikir kalau kau juga harus merasakannya. Tenang saja, adikmu tersayang ini tidak terganggu psikologisnya. Dia berpikir waras” dengan keyakinan penuh aku menghunuskan pisau yang kupegang tepat di perutnya dan seketika percikan darah mengotori tubuhku. Dia terkulai tak bergerak di sofa. Yah… aku merasa lega.
Kemudian sesudah semuanya terjadi, tanganku merogoh telepon seluler yang terdapat di kantung celanaku. Dan dengan cepat jariku menekan beberapa nomor untuk dihubungi.
“Selamat malam, apa ini kantor polisi?… Telah terjadi pembunuhan berencana di rumah saya. Bisa anda datang secepatnya” aku mematikan teleponku, lalu aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan bercak-bercak darah di tubuhku. Tapi, tiba-tiba saja…
“Ahk…!!!” ya… teriakkan menggema dari arah ruang keluarga rumahku.
“hiksh… hiksh… tolong! Seseorang tolong! Hisk…”.
Aku pun mendatanginya, yang kalau tidak salah adalah kakakku yang pertama, Marsella.
“Ada apa? Apa ada masalah?”
Dia berlari kencang ke arahku sambil menangis. Wow… ini pertama kalinya dia memelukku.
“Abel! Abel! Cepat, cepat! Panggil seseorang! Panggil seseorang untuk menangkap pembunuhnya! Cep…” tiba-tiba dia berhenti bicara, dia melepas pelukannya dan memelotiku dengan mata berairnya. Tubuhnya bergetar ketakutan.
“tenang saja, aku sudah menghubungi polisi” lalu aku masuk ke dalam kamarku untuk mengganti pakaian. Tapi, sebelum aku benar-benar masuk, aku berhenti sejenak di depan pintu untuk melihat ekspresinya. Dan aku tersenyum.
Tak berapa lama mobil polisi sudah memenuhi halaman rumahku. Mereka keluar dari mobil dan berlari dengan cepat ke dalam rumahku. Dan ya… mereka terkejut melihat mayat kakakku Karen dan isak tangis Marsella. Saat itulah aku keluar dari dalam kamar, aku berjalan perlahan dengan disoroti lampu mobil polisi yang cahayanya masuk melalui pintu yang dibuka lebar secara paksa.
“kalian bisa memborgolku sekarang” ucapku santai sambil mengulurkan kedua pergelangan tanganku. Seperti yang sudah kuduga, aku mendapatkan tatapan ‘tak percaya’ semua polisi di situ.
“maaf, tapi sesuatu seperti ini bisa saja terjadi” aku tersenyum setelah sekian lama tidak mampu melakukannya lagi. Tapi, tiba-tiba saja dari balik garis polisi yang telah dipasang, kedua orangtuaku muncul dengan tatapan keterkejutan yang sama halnya dengan yang lain.
“baiklah. Kau ditangkap sebagai tersangka atas pembunuhan saudari kandungmu sendiri. Karen Walcon. Kau ikut kami ke kantor polisi, jika kau ingin melakukan pembelaan kau diperbolehkan menyewa pengacara” salah satu polisi maju dan memborgol tanganku dengan cepat, anehnya… tangannya bergetar, aku bahkan hampir tak dapat membedakan dia grogi atau ketakutan aku juga akan menghunuskan pisau padanya.
Setelah itu, satu persatu mobil polisi pergi meninggalkan halaman rumahku. Aku pun diseret serta masuk ke salah satu mobil polisi, tapi sebelum aku benar-benar masuk ke dalam mobil, sejenak kuhentikan langkah kakiku di hadapan orangtuaku. “Ini hasil yang kalian dapat dari cara kalian membatasi kehidupanku” dan aku tersenyum manis pada papa dan mamaku, yah… setidaknya senyuman manis itu menutupi mataku yang sendu dan berkaca-kaca.
“cepat masuk!” polisi yang menggandeng tanganku mendorong tubuhku agar segera masuk ke dalam mobil. Aku kembali melihat ke arah orangtuaku, tapi entah kenapa ketika aku melihat, yang kulihat adalah mamaku pingsan dan langsung dibopong ke dalam rumah oleh papaku. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku, menyembunyikan air mata yang terjatuh.
Mobil polisi semakin melaju menjauhi lingkungan rumahku begitu juga dengan bulan dan bintang-bintang di langit malam ini, kian larut mereka semakin menyembunyikan diri dibalik kapas tipis di langit malam. “Akhirnya semua berakhirnya juga. Ini melegakan” aku mendesah pelan sambil menatap langit malam yang sendu. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya kemudian menahannya untuk beberapa detik lalu menghembuskannya dengan teratur dari mulutku, jujur kuakui ini sangat menenangkan. Bagiku rumah itu adalah penjara, dan selamat datang di rumah baruku. Memang terlihat agak keterlaluan, tapi jika mengingat semua yang sudah terjadi sebelum kejadian ini aku merasa itu lebih keterlaluan terutama bagi psikis dan masa depan yang kuharapkan.
Masih segar di ingatanku bagaimana kejadian yang membuatku memutuskan untuk melakukan semua ini…
Flashback
“Abel, pulang sekolah jangan lupa langsung ke tempat les Manajemen Keuangan kamu ya. Kemarin mama dikasih tau kalo kamu nggak hadir di ujian bulanan, untung aja guru les kamu masih ngasih kamu kesempatan untuk ujian susulan” mama berkata nyaris seperti menyindir aku hampir tak mampu membedakannya dengan mengingatkan. Tapi seperti biasanya, aku lebih memilih diam sembari menikmati kunyahan roti lapis di mulutku, walaupun terasa agak hambar karena suasana pagi ini.
“yaelah… mah. Macam nggak tau Abel aja, palingan juga jalan sama cowok. Ya kan, bel?” kakakku Karen dengan gampang mengucapkannya seolah itu sudah menjadi kebiasaanku, aku tersentak saat itu juga dan tentunya aku terpaksa memberhentikan kunyahanku. “aku mengikuti seleksi pencarian bakat. Itu hari terakhir, jadi aku terpaksa izin tidak mengikuti les hari itu. Maafkan aku karena tidak memberitahukannya” ini entah ke berapa kalinya aku harus menahan luapan emosiku. Tapi, entah keberapa kalinya juga mereka berusaha menghancurkan pertahanan diriku, rasanya aku ingin meledak saat itu juga.
Aku Abel, aku sangat menyukai musik. Tapi, jangan pernah mengira aku mendapatkan hobi dan bakatku itu keturunan dari keluargaku. Mereka sangat membenci bakat yang kugeluti dan berharap aku menjadi wanita kantoran yang kaku. Tidak itu menjijikan. Tak lama lagi aku akan tamat dari SMU, yang kuharapkan adalah menjadi gadis yang sukses di dunia entertainment.
Tepat pada jam 6 sore aku pulang ke rumah setelah mengikuti les tambahan. Semua itu terasa amat memuakkan. “aku pulang” aku berjalan gontai ke dalam kamarku, semua beban terasa semakin memberatkan tubuhku. Tapi tepat ketika aku memasuki kamar, saat itulah semua hal yang selalu mampu membangkitkan gairahku untuk terus hidup enyah dari hadapanku.
Aku terkejut. Poster-poster, alat musik dan bahkan lirik-lirik lagu yang kubuat sejak aku mengenal dunia musik semuanya hilang. Aku mencari ke setiap sudut kamarku tapi nihil hasilnya. Aku ingin sekali berteriak saat itu juga, tapi tiba-tiba aku berpikir siapa yang telah melakukannya. Aku beranjak saat itu juga dengan wajah yang masih dipenuhi derai air mata. Kucari ke setiap sudut rumah sembari berpikir, di mana dia berada?!. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya di rumah sederhana itu, aku melihatnya di halaman belakang rumahku. Tunggu sebentar, apa yang dilakukannya?. Dan betapa terkejutnya aku ketika kulihat dia dengan asik membakar semua barang milikku yang sudah susah payah kukumpulkan. Aku perhatikan wajahnya yang tertawa tanpa rasa bersalah. Dari jarak yang jauh aku hanya mampu memendam semua perasaan sambil berlinangkan air mata.
Sayang, kau telah melakukan tindakan yang salah. Dan kau harus menerima balasan atas perbuatanmu. Tak apa aku tidak jadi meraih mimpiku, tak apa, demi membuatmu merasakan perasaan sakitku. Aku berjanji dalam hati.
Flashback end
Sangat menyakitkan bukan? Tapi bukan hanya sangat menyakitkan, kurasa juga sangat sadis dan tega. Mulai sejak sekarang aku sudah lumayan tenang karena sudah terbebas dari keterikatan untuk meraih mimpi yang kuharapkan. Ya… walaupun aku akan memiliki rumah baru. Yang lebih baik.
2 tahun setelah kejadian…
“Abel! Abel! Abelll…!!! Kamu dipanggil sama bu Tuti, katanya ada masalah yang penting yang mau dibicarain sama kamu. Buruan gih!” salah seorang tahannan perempuan yang juga sebagai temanku di penjara berteriak penuh kegembiraan, padahal tadi dia bilang masalah kan terus kenapa suaranya malah terdengar penuh semangat. Ahh… dasar Neti.
“ada apa sih net? Ada masalah apa? Nanggung nih kerjaanku” aku tidak menoleh sedikitpun ke arah Neti, aku memang sulit melepaskan fokusku ketika sudah mendesain barang-barang multifungsi kegemaranku. Hi… hi… hi.
“udah buruan sono pergi, aku nggak mau nanggu kalo sampe dia ngamuk loh. Cepetan”. Yah akhirnya mau tak mau aku terpaksa melepaskan pekerjaan mendesainku demi menemui bu Tuti atau kepala sipir di penjara yang kutempati. Dia sangat baik padaku, karena dia jugalah usaha barang-barang multifungsi yang kukerjakan di dalam penjara berhasil, bahkan sekarang atas bantuan dia aku bisa memasarkannya hingga ke luar negeri. Aah… sangat menyenangkan.
“permisi bu, ada apa ibu memanggil saya ke ruangan ibu? Apa ada yang bisa saya bantu? Atau saya membuat kesalahan?” setelah mengetuk pintu dan bertanya dengan sopan dia menyuruhku untuk duduk di kusi yang sudah disediakan di hadapannya.
Tiba-tiba saja bu Tuti langsung menyodorkan sebuah amplop besar dan berwarna cokelat kepadaku, dapat kulihat dari tatapan matanya dia ingin aku segera membuka amplopnya dan mengeluarkan isi di dalamnya. Mau tak mau aku harus melakukannya bukan?.
“astaga!” aku terkejut setengah mati saat melihat isi di dalamnya, benar-benar hal yang tak dapat kuduga sebelumnya. Sebuah… sebuah perjanjian kerjasama perusahaan agar aku bersedia menerima barang-barangku dilabeli nama perusahaan mereka. Belum lagi itu salah satu perusahaan terkenal.
“bagaimana hal ini bisa terjadi? Kenapa mereka tertarik dengan produkku?” aku benar-benar masih meragukan apa yang kulihat di amplop itu.
“produkmu bagus Abel dan belum lagi barang-barang yang kau pasarkan punya nilai seni yang tinggi hingga banyak yang tertarik untuk melabeli produkmu” mataku tidak salah menangkap apa yang barusan kulihat, bu Tuti tersenyum haru melihatku hingga matanya berkaca-kaca. “dan tahukah kau? Tahun ini kau mendapatkan grasi 6 bulan karena kinerjamu dan etikamu. Tak lama lagi kau akan berbisnis dengan bebas”. Aku semakin bermimpi mungkin? Tapi, tidak ini nyata!.
“aku tidak tahu harus berkata apa? Lidahku kelu. Aku… aku… hanya… hanya ingin berterima kasih, ini semua juga karena berkatmu. Aku sangat berterima kasih”.
“ucapkan pada Tuhan terlebih dahulu. Abel, kau anak yang baik, aku… aku tahu itu sejak kau dimasukkan dalam lapas wanita ini. Entah apa yang membuatmu dulu melakukan hal seperti itu. Jika, saja itu tidak terjadi mungkin kau sudah lebih dari sukses sekarang” nada suara itu terdengar penuh keprihatinan, sangat keibuan. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mama bersuara seperti itu kepadaku.
“tidak. Maaf, bukan bermaksud menyakiti perasaanmu. Tapi jika aku masih berada di sana, kuyakini aku takkan berkembang. Keluargaku hanya mengingini aku menjadi wanita kantoran yang selalu bekerja di balik layar komputer. Aku tidak ingin itu, kau pun tahu sendiri kalau sebenarnya cita-citaku adalah menjadi seorang musisi internasional. Maaf… tapi aku memang merasa lebih baik sewaktu berada di sini bukanya di sana” aku merasa emosionalku naik kembali karena ada yang mengungkit kejadian dua tahun lalu itu, aku ingin amnesia rasanya.
“maafkan aku jika aku jadi mengingatkanmu tentang itu lagi. Tapi, tidak bisakah setidaknya kau mengucapkan maaf atas apa yang sudah kau lakukan padanya” aku yakin sekali, aku mendengar dia sedikit takut-takut untuk mengatakan itu.
“bu, bolehkah saya permisi pergi. Maaf, jika tidak sopan. Saya permisi” aku keluar dari ruangan minimalis itu dan berjalan ke mana saja kakiku ingin melangkah. Hingga sekarang kehampaan dalam diriku semakin berkembang, aku sendiri bahkan bingung harus bagaimana untuk mengatasinya. Aku lemah.
Tiba-tiba saja pikiranku melayang pada berita yang kudengar enam bulan yang lalu, yah… berita itu sampai ke telingaku juga karena bu Tuti yang memberitahu. Berita Karen sudah dapat beraktivitas seperti dahulu lagi. Sejak awal aku sudah tahu hal itu akan terjadi. Tanpa kusadari bibirku sedikit merekah mengingatnya.
Jujur, aku juga tidak sebejat yang dipikirkan karena tega membunuh saudari kandungnya sendiri. Aku menusuknya tidak terlalu dalam tapi menyakitkan. Aku kesal dan ya… tentu saja, tapi aku tidak gila. Aku tahu dia akan sembuh dan bisa beraktivitas lagi yang aku ingin dia rasakan adalah rasa sakit yang sama seperti yang selalu dia lakukan padaku. Tapi, ketika pikiranku terlintas dengan perkataan bu Tuti tadi aku jadi merasa seakan hanya aku yang memiliki dosa.
Keluargaku. Tak ada satupun yang mengunjungiku dan terlalu sakit juga untukku mampu melihat mereka. Tapi, ya… sudahlah untuk sekarang aku hanya ingin menjalani hidup saja tanpa terlalu banyak berpikir ini itu.
Dua tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, sekarang umurku sudah hampir memasuki usia 21 tahun. Aku yakin semua yang telah terjadi itu barulah permulaan, hidupku masih panjang dan masih banyak hal-hal tak terduga yang bisa saja lebih parah. Tapi, yah… di sinilah aku duduk merenung sendirian di taman lapas tempatku dihukum atas perbuatanku pada Karen. Berbanding terbalik saat aku ditangkap dan dibawa oleh mobil polisi untuk diperiksa, saat itu aku menatap langit malam yang suram tapi sekarang aku menatap langit siang yang terik dan amat silau seolah berkata bahwa sesuatu yang lebih hebat masih akan menimpa hidupku. Dan Tuhan biarlah kuserahkan semuanya padamu karena aku sangat yakin rencanamu memanglah lebih baik…
SELESAI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment