Wednesday, April 5, 2017
pea
Pelangi Imaji
Judul Cerpen Pelangi Imaji
Cerpen Karangan: Aldi Murti Firdaus
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 4 April 2017
Aku melihat langit senja, warnanya keemasan dan membuatku terpana. Tangan aku bergerak melukis awan dengan pensil warna, berharap hujan nanti malam berwarna-warni agar ketika pagi pelangi datang.
Berulang kali tekad itu aku tegaskan, berulang kali juga mereka tertawa. Aku tidak mengerti pada awalnya, ayah dan ibu hanya diam kala aku bercerita. Raut wajahnya sedih dan ketika aku berkata, “ibu aku melihat pelangi lagi.” Wajahnya menahan tangis.
Susah rasanya untuk mereka pahami, aku sendiri meyakini hal itu. Mungkin aku terlalu sibuk dengan imajinasiku, tapi tetap saja aku mendengar suara ibu walau samar-samar. “Pak, ini tidak benar. Anak kita tidak seharusnya seperti ini.”
Aku mengedikkan bahu, dan terus menggambar di buku sketsa. Dari dulu aku suka sekali dengan warna hijau, menurutku warna itu sangat menenangkan dipandang mata. Pohon, sawah, rumput yang bergerak tertiup angin juga berwarna hijau. Kadang kala kuning karena terkena sinar matahari atau cokelat terkena lumpur tanah akibat hujan.
Aku mengangkat kepala ketika ibu memanggil, “nak sudah waktunya makan.” Begitulah kiranya ibu membawa sepotong rendang lengkap dengan sayur nangka.
Aku berjingkrak kesenangan, kemudian ibu terkekeh kecil. “Anak ibu sudah besar, jangan seperti itu.”
Aku mengangguk dan tersenyum lebar. Gigi putihku berbaris rapih, ibu hanya berdecak menggelengkan kepala. Sesekali dia mengelus sayang, rasanya tenang. Sama ketika melihat pelangi.
“Ibu, pelangi kapan datangnya? Aku sudah menggambar di langit dengan pensil warna. Biasanya dia akan menghampiri tapi kali ini tidak.”
Ibu diam, sesekali bulu matanya berkedip dan dia memejamkan mata sambil menghembuskan napas pelan.
“Ibu kenapa?” Aku menarik baju dasternya yang kebesaran. Dia terus diam membuatku gelisah.
“Ibu!!” Dia menoleh tapi raut wajahnya datar tanpa ekspresi sedikitpun. Aku terenyuh, kali ini bisa melihat guratan keriput di wajahnya dengan jelas.
“Ibu dan ayah akan datang bersama pelangi sayang, kamu harus kuat seperti tanah. Dia rela menjadi tempat jatuhnya hujan walau seringkali kulitnya mengelupas terbawa air. Dia kuat sampai pelangi datang.”
Aku menggelengkan kepala dan menjatuhkan pensil warna. Dengan cepat aku memeluk ibu, tapi dia semakin maya dan menghilang. Aku mengambil pensil yang tadi jatuh dan mulai menggambar ibu di udara.
Tidak!!
Ibu menghilang!!
Aku tidak mau kehilangan ibu!!
Aku menjerit histeris dan terus menangis meraung-raung. Wajahnya yang teduh tadi menjadi ingatan terakhirku. Tuhan, tolong pertemukan aku dengan ibuku lagi. Aku ingin melihat pelangi bersamanya.
Sesaat semua gelap, kemudian muncul cahaya terang berwarna putih. Aku mengejar cahaya itu dan terbangun di suatu tempat. Baunya aneh dan terasa pening di kepala. Aku memberontak karena pergelangan tanganku terikat erat. Sampai tanganku terasa kebas, pria berbaju putih rapi dan perempuan bertopi putih masuk ke dalam ruangan membawa sebuah alat yang ujungnya tajam.
“Sus, pasien semakin menggila. Kita suntikkan obat penenang agar dia tidur kembali.” Suara berat pria itu membuat aku takut. Kacamatanya menutup kebohongan yang terlihat, tapi suster tersebut melakukan titah pria itu.
“Tidaaaaaak!!” Aku berteriak ketakutan, tetapi semuanya kembali gelap. Terakhir, aku melihat pria itu berbicara kepada perempuan.
“Semoga anak ini bisa cepat sembuh.”
Aku terdiam diri dalam gulita. Sepi dan senyap tanpa warna. Kemudian suara gema terdengar di telinga, “sayang!”
Aku menoleh dan mendapati ibu dan ayah yang sedang tersenyum bahagia. Sambil mengulurkan tangannya, mereka berkata yang membuat aku tersenyum lebar.
“Ayo, kita sama-sama melihat pelangi. Pasti di sana sangat indah.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment